ARTICLE AD BOX
Tanpa ada niat mendiskreditkan medium animasi, remake ini bisa menerjemahkan makna harfiah live-action, ialah menghadirkan jenis animasinya menjadi nyata.
Jakarta, detikai.com --
Remake live-action dari movie animasi sering dianggap kandas lantaran seolah hanya mengeruk cuan tanpa memikirkan aspek kreatif. Namun, kecenderungan ini rasanya tak bertindak untuk How to Train Your Dragon (2025) nan sukses mengulang keajaiban karya aslinya.
Versi live-action itu rupanya bisa kembali menghadirkan sisi magis dari petualangan si pemuda Viking berjulukan Hiccup dan Toothless sang naga Night Fury di How to Train Your Dragon (2010).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Capaian ini semakin mengejutkan lantaran How to Train Your Dragon menandai debut DreamWorks mengerjakan remake live-action dari katalog animasi mereka.
Keputusan terjun ke bumi remake live-action awalnya cukup membikin banyak orang skeptis, termasuk saya. Jika dicermati, tren mendaur ulang animasi ke live-action belakangan lebih banyak memicu cibiran alih-alih pujian.
Situasi itu pula nan membikin sebagian besar orang menilai movie live-action dari animasi tidak perlu-perlu amat, apalagi untuk How to Train Your Dragon nan begitu ikonis hingga mencetak skor kritikus 99 persen di Rotten Tomatoes.
Rasa sangsi rupanya langsung sirna setelah memandang langsung petualangan Hiccup berbareng Toothless dalam bentuk live-action. Tanpa ada niat mendiskreditkan medium animasi, remake ini bisa menerjemahkan makna harfiah live-action, ialah menghadirkan jenis animasinya menjadi nyata.
Review How to Train Your Dragon (2025): ada beberapa aspek nan mendukung live-action How to Train Your Dragon menjadi tontonan nan megah. (Universal Pictures & DreamWorks Animation LLC)
Bagi saya, ada beberapa aspek nan mendukung live-action How to Train Your Dragon menjadi tontonan nan megah. Remake ini menerapkan prinsip utama dalam mendaur ulang suatu karya ikonis: do it by the book.
Di tengah remake nan mencoba mengeksplorasi sumber original dengan perubahan cerita, casting, hingga menghadirkan twist baru, live-action ini memilih setia dengan sumbernya.
Sejumlah segmen krusial dalam How to Train Your Dragon (2025) apalagi menerapkan format shot-for-shot adaptation alias dibuat secara identik, nyaris sama persis dengan aslinya.
Keputusan ini boleh saja dicap terlalu main aman, membosankan, alias hanya bakal berlalu seperti emosi déjà vu. Namun, bagi saya, mengotak-atik cerita seapik How to Train Your Dragon sama seperti memasang perangkap untuk diri sendiri.
Kesetiaan mengikuti 'resep' aslinya diikuti pula dengan kehadiran sang ahli masak. Dean DeBlois, sutradara dan penulis HTTYD jenis animasi, kembali memikul tanggung jawab nan sama untuk jenis live-action.
Poin plus lain diperoleh ketika studio mau memberi kontrol imajinatif penuh bagi DeBlois. sang sutradara lantas mendapat ruang untuk mengembangkan HTTYD dari 98 menit di jenis animasi menjadi 125 menit untuk live-action.
Perpanjangan lama itu dimanfaatkan dengan baik meski tidak betul-betul berakibat bagi cerita. Jika diibaratkan, 27 menit tambahan itu bagai hiasan tambahan nan mempercantik suguhan utama How to Train Your Dragon.
Review How to Train Your Dragon (2025): Materi cerita nan berbobot dan sudah teruji di jenis animasi itu selanjutnya dikawinkan dengan pengerjaan visual kelas wahid serta penampilan apik para pemeran. (Universal Pictures & DreamWorks Animation LLC)
Materi cerita nan berbobot dan sudah teruji di jenis animasi itu selanjutnya dikawinkan dengan pengerjaan visual kelas wahid serta penampilan apik para pemeran.
Dean DeBlois kemudian menggandeng Bill Pope untuk mengisi bangku sinematografer. DeBlois sejatinya meminta Roger Deakins nan menjadi konsultan visual animasi HTTYD untuk kembali terlibat, tetapi sinematografer itu menolak dan menyarankan Bill Pope sebagai nama nan cocok.
DeBlois mengambil keputusan brilian ketika mendengar saran rekan lamannya. Bill Pope, dengan jejak menterengnya sebagai pengarah visual, bisa mengangkat How to Train Your Dragon ke level nan lebih tinggi.
Ia menyuguhkan Pulau Berk menjadi banget bagus dengan perincian nan ciamik, mulai dari kostum bangsa Viking dan arsitektur desanya hingga tekstur naga-naga nan terlihat nyata.
Pope semakin memamerkan keahliannya saat movie mulai menyajikan segmen Hiccup terbang dengan Toothless. Ia mengerti betul bahwa How to Train Your Dragon layak menjadi blockbuster musim panas nan memuaskan, sehingga setiap segmen tindakan tersaji dengan sentuhan magis.
[Gambas:Video CNN]
Kemegahan itu semakin terasa lantaran kehadiran John Powell, komposer nan dulu juga terlibat di How to Train Your Dragon (2010). Tak jauh berbeda dengan DeBlois, Powell hanya tinggal membawa resep scoring dari medium animasi ke live-action untuk mengulang kesuksesannya.
Meski begitu, patut dicatat pula bahwa ada pengaruh CGI nan tetap terlalu kasar, seperti saat Hiccup (Mason Thames) dan Astrid (Nico Parker) berbincang di atas Toothless nan sedang terbang.
Kerja dahsyat orang-orang di kembali layar itu dibalas dengan apik oleh para pemeran How to Train Your Dragon jenis live-action. Mason Thames, sang pemeran Hiccup, tampil gemilang sebagai jantung cerita nan terus berdebar sampai akhir perjalanan.
Penampilan Mason Thames juga diimbangi para pemeran karakter muda lainnya, termasuk Nico Parker nan menjadi Astrid Hofferson. Gerard Butler nan kembali menjadi Stoick the Vast rupanya bisa menghidupkan karakter kepala suku tersebut di dua medium berbeda.
Namun, di antara para pemeran itu, perhatian saya justru tertuju kepada Nick Frost sebagai Gobber the Belch. Ia betul-betul menjadi tokoh serba bisa lantaran bisa menghadirkan beraneka peran Gobber di cerita, dari menjadi pandai besi Berk, sahabat Stoick, hingga mentor Hiccup.
Ulasan panjang itu pada akhirnya berujung kepada satu pertanyaan pemungkas: Apakah How to Train Your Dragon tetap layak ditonton meski tak jauh berbeda dari jenis animasi?
Pada dasarnya tidak masalah jika live-action ini dilewatkan, apalagi bagi penonton nan enggan merusak memori bagus terhadap How to Train Your Dragon jenis animasi.
Namun, bagi mereka nan mau merasakan kembali petualangan Hiccup dan Toothless dalam format lain nan tetap megah serta disajikan dengan visual imersif, live-action How to Train Your Dragon jelas sanggup memenuhi kemauan itu.
[Gambas:Youtube]
(end)