ARTICLE AD BOX
Endro Priherdityo
Meski secara packaging Conclave sudah cukup layak untuk mendapatkan nominasi penghargaan, beragam rumor sosial dalam movie ini adalah nan paling penting.
Jakarta, detikai.com --
Conclave mungkin sedikit dari movie nominasi Best Picture Oscar 2025 nan meninggalkan kesan 'ketagihan' bagi saya untuk kembali menyaksikannya.
Ada sejumlah argumen kenapa movie nan awalnya terasa sangat membosankan ini, kemudian malah menjadi tontonan nan mengubah posisi duduk saya menjadi sangat serius dan hanyut dalam ceritanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, naskah nan dibuat Peter Straughan dari novel berjudul sama karya Robert Harris ini sungguh cerdas. Straughan seolah bukan membikin drama thriller politik, tapi seperti membikin movie penuh dengan teka-teki pembunuhan.
Kisah Conclave nan dibuka dengan cerita kematian misterius Sri Paus jelas menjadi gerbang sekaligus argumen utama kenapa kemudian penonton teralihkan dan mau mengikuti investigasi Kardinal Lawrence.
Straughan memilih untuk memberikan petunjuk original dan petunjuk 'tipuan' secara menyebar sejak awal-awal cerita nan kemudian membikin tempo menjadi sangat lambat untuk diikuti.
Namun hingga pada satu babak, intensitas mulai menanjak dan terus menanjak, membikin posisi duduk tak bisa lagi asal-asalan, dan perlahan mengikuti skandal demi skandal nan terkuak selama 120 menit.
Yang membikin saya sungguh kagum adalah, ini semua terjadi hanya dalam sebuah rapat. Ya, movie ini intinya sebenarnya hanya soal drama dan intrik politik dalam sebuah rapat.
Review Conclave (2024):Kisah Conclave nan dibuka dengan cerita kematian misterius Sri Paus jelas menjadi gerbang sekaligus argumen utama kenapa kemudian penonton teralihkan dan mau mengikuti investigasi Kardinal Lawrence. (dok. Focus Features via IMDb)
Meski begitu, rapat tersebut berisi rumor sosial dari beragam topik. Bukan hanya itu, Straughan juga menyediakan beragam punchline nan menohok dan tersedia untuk semua jenis kalangan penonton.
Beruntungnya, naskah pandai dari Straughan tersebut diorkestrasi secara apik oleh Edward Berger, diwujudkan dengan ciamik oleh para pemain, serta dibantu dengan skill mantap dari para kru.
Berger jelas mengerti gimana mewujudkan cerita Straughan dalam gambar bergerak. Dari awal, Straughan dan Berger macam duet mastermind nan sedang merancang sebuah persekongkolan rumit dan mindblowing.
Berger juga memoles cerita tersebut dengan sentuhan visual nan apik. Dibantu Stephane Fontaine, keduanya menghasilkan salah satu sinematografi paling elok nan saya lihat di antara nominasi Best Picture Oscar 2025.
Sutradara Swiss-Austria-Jerman tersebut tahu betul posisi dan komposisi gambar nan cakep dan sungguh memanjakan mata. Bahkan saya seolah sedang memandang salindia karya-karya pemenang lomba fotojurnalistik.
Hal ini wajar mengingat Berger juga punya pengalaman nan serupa dengan movie All Quiet on the Western Front (2022) dan movie itu sukses mengantongi piala Oscar untuk Best Cinematography. Tetapi tetap saja, saya jatuh cinta dengan sajian visual dari Berger untuk Conclave.
Review Conclave (2024):Ralph Fiennes, John Lithgow, Lucian Msamati, Isabella Rossellini, Carlos Diehz, dan Sergio Castellittoadalah pion-pion nan menghidupkan cerita Conclave. (dok. Focus Features via IMDb)
Peran para pemain dalam mewujudkan gambaran Berger dan Straughan juga patut mendapatkan tepuk tangan. Ralph Fiennes, John Lithgow, Lucian Msamati, Isabella Rossellini, Carlos Diehz, dan Sergio Castellitto menurut saya adalah pion-pion nan menghidupkan cerita Conclave.
Mereka memerankan karakternya dengan sangat apik, membawakan dialog-dialog tajam dengan permainan emosi serta intonasi nan pas, hingga pagelaran perincian ekspresi nan menebalkan suasana cerita.
Maka rasanya wajar jika dialog-dialog tajam nan sudah disiapkan Straughan bakal tersampaikan dengan sempurna kepada penonton lantaran permainan para tokoh dan sajian dramatik dari Berger.
Selain itu, saya menyoroti kreasi produksi nan juga membikin saya terpukau, apalagi mengingat biaya produksi movie ini 'hanya' US$20 juta.
Sehingga, saya hanya bisa menduga apakah kru kreasi produksi nan sangat jago dalam membikin set dengan bujet nan hemat, alias tim editing nan lihai dalam merekayasa tampilan movie ini. Siapa pun nan terlibat, bellissimo!
Volker Bertelmann selaku kepala musik Conclave juga punya peranan sangat krusial dalam membangun suasana cerita. Bartelmann bagai menempatkan penonton dalam kesakralan prosesi liturgi, hingga ikut bikin deg-degan saat mengikuti investigasi dan beragam skandal nan terkuak.
[Gambas:Video CNN]
Meski secara visual maupun tata bunyi Conclave sudah cukup layak untuk mendapatkan nominasi penghargaan, bagi saya beragam rumor sosial nan dibawa Harris dan Straughan dalam movie ini adalah perihal nan paling penting.
Conclave menunjukkan bahwa tumbukan ideologi juga bakal terjadi di dalam tataran lembaga nan semestinya sudah dalam pemahaman nan sama.
Selain itu, apalagi dalam lembaga nan berasas ketaatan kepada Tuhan dan pengabdian kepada umat manusia, motif politik duniawi juga tak bisa dilepaskan dari sana. Hal ini menegaskan prinsip manusia nan memang tak bisa dilepaskan dari sifat keduniawian dan ketidaksempurnaan.
Mungkin perihal itu pula nan menguatkan kenapa Conclave sangat layak untuk masuk jejeran Best Picture Oscar 2025. Bahkan bagi saya, ini lebih baik dibandingkan movie dengan raihan nominasi terbanyak dan nan sering dibahas di media sosial.
[Gambas:Youtube]
(end)