ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Rencana TNI Angkatan Darat untuk merekrut 24 ribu prajurit sejalan dengan pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan menuai kritik keras dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Wahyu Yudhayana mengatakan jumlah rekrutmen pada 2025 itu berdasar kalkulasi dan perencanaan nan jelas.
Ia mengatakan animo generasi muda untuk menjadi prajurit TNI AD terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal ini tercermin dari info pendaftaran Calon Tamtama TNI AD tahun 2025 nan mencapai 107.365 orang, dengan jumlah calon tervalidasi sebanyak 38.835 orang," kata Wahyu saat dikonfirmasi, Selasa (10/6).
Ia menjelaskan realisasi rekrutmen prajurit juga secara konsisten melampaui sasaran alokasi formasi. Dalam lima tahun terakhir, capaian penerimaan TNI AD selalu di atas 100 persen, apalagi mencapai 114,4 persen pada 2023.
Rekrutmen ini, kata dia, sejalan dengan arah kebijakan pertahanan negara nan termuat dalam Doktrin Pertahanan Negara Tahun 2023, ialah membangun sistem pertahanan nan mandiri, kuat, dan berbasis kewilayahan.
Dalam konteks ini, TNI AD tengah menyusun struktur organisasi nan lebih adaptif dan responsif terhadap potensi ancaman di tiap wilayah Indonesia.
"Sebagai penerapan konkret, TNI AD berencana untuk membentuk Batalyon Teritorial Pembangunan nan tersebar di seluruh Indonesia untuk mendukung stabilitas dan pembangunan di 514 Kabupaten/Kota," ujarnya.
Ia mengatakan setiap batalyon nantinya bakal berdiri di lahan seluas 30 hektare, dan bakal mempunyai kompi-kompi nan secara langsung menjawab kebutuhan masyarakat, antara lain Kompi Pertanian, Kompi Peternakan, Kompi Medis dan Kompi Zeni.
Wahyu menjelaskan dengan pendekatan tersebut, prajurit TNI AD tidak hanya dituntut siap tempur, tetapi juga menjadi kekuatan pembangunan nan datang dan berfaedah langsung di tengah masyarakat.
"Jadi sudah tergambar dari rencana pengembangan organisasi TNI AD tersebut tentunya bakal memerlukan banyak personel prajurit baru melalui rekrutmen prajurit khususnya Tamtama," katanya.
Sementara itu, menurut koalisi, rencana rekrutmen tersebut sudah keluar jauh dari tugas utama TNI sebagai perangkat pertahanan negara.
Koalisi mengatakan TNI direkrut, dilatih, dan dididik untuk perang, bukan untuk mengurusi urusan-urusan di luar perang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan kesehatan.
"Dengan demikian, kebijakan perekrutan sebagaimana sedang direncanakan tersebut telah menyalahi tugas utama TNI sebagai perangkat pertahanan negara sebagaimana diatur dalam konstitusi dan UU TNI itu sendiri," kata koalisi dalam keterangan tertulis.
Menurut koalisi, perubahan lingkungan strategis dan ancaman perang nan semakin kompleks dan modern sebenarnya menuntut TNI untuk konsentrasi serta mempunyai skill spesifik di bagian peperangan.
Dalam konteks itu, menempatkan TNI untuk mengurusi hal-hal di luar pertahanan dinilai justru bakal melemahkan TNI dan membikin TNI menjadi tidak konsentrasi untuk menghadapi ancaman perang.
Koalisi juga menilai, perekrutan dan pelibatan TNI bukan untuk menjadi pasukan tempur, sebagai corak kegagalan untuk menjaga pemisah demarkasi nan tegas antara urusan sipil dan militer.
Padahal, kata koalisi, konstitusi UUD 1945 dan UU TNI telah menetapkan pembatasan terhadap TNI nan jelas-jelas tidak mempunyai kewenangan mengurus pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan kesehatan.
"Kami mendesak Presiden dan DPR untuk melakukan pengawasan dan pertimbangan tentang perekrutan dan pelibatan TNI nan berlebihan tersebut lantaran telah menyalahi jati diri TNI sebagai perangkat pertahanan negara sesuai petunjuk konstitusi dan UU TNI," kata koalisi.
Koalisi terdiri di antaranya dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative.o
(yoa/isn)
[Gambas:Video CNN]