ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko memastikan, jika pihaknya bakal beradaptasi dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pasal karet dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Diketahui, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo membacakan amar putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, itu pada Selasa (29/4) kemarin.
"Tentu Polri bakal beradaptasi alias menyesuaikan serta tunduk pada putusan MK," kata Trunoyudo saat hubungi, Rabu (30/4).
Mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya ini menegaskan, putusan MK terhadap pasal-pasal tersebut untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
"Yang merupakan patokan bertindak untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat," tegasnya.
MK sebelumnya mengabulkan sebagian gugatan uji materiil Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan pada dasarnya kritik dalam kaitan dengan Pasal 27A UU 1/2024 tersebut merupakan corak pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal nan berangkaian dengan kepentingan masyarakat.
"Sehingga untuk menerapkan Pasal 27A UU 1/2024 kudu merujuk pada ketentuan Pasal 310 ayat (1) KUHP nan mengatur mengenai pencemaran terhadap seseorang alias individu. Dengan kata lain, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran nan ditujukan kepada orang perseorangan," kata Hakim Arief dalam pertimbangan hukumnya dalam sidang Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024 nan dipimpin Ketua MK Suhartoyo digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Tindak Pidana Aduan
Hakim Arief menjelaskan, antara Pasal 27A UU 1/2024 dengan Pasal 45 ayat (5) UU 1/2024 nan mengenai dengan pelanggaran terhadap ketentuan larangan dalam Pasal 27A UU 1/2024 merupakan tindak pidana kejuaraan alias delik kejuaraan nan hanya dapat dituntut atas pengaduan korban alias orang nan terkena tindak pidana alias orang nan dicemarkan nama baiknya.
"Dalam perihal ini, kendati badan norma menjadi korban pencemaran maka dia tidak dapat menjadi pihak pengadu alias pelapor nan dilakukan melalui media elektronik. Sebab hanya korban (individu) nan dicemarkan nama baiknya nan dapat melaporkan kepada abdi negara penegak norma mengenai perbuatan pidana terhadap dirinya dan bukan perwakilannya," tegas Hakim Arief.
Hakim Arief beralasan, perihal itu dilakukan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan abdi negara penegak norma dalam menerapkan frasa "orang lain" pada Pasal 27A UU 1/2024. MK menegaskan nan dimaksud frasa "orang lain" adalah perseorangan alias perseorangan.
"Oleh karenanya, perihal itu dikecualikan dari ketentuan Pasal 27A UU 1/2024 jika nan menjadi korban pencemaran nama baik bukan perseorangan alias perseorangan, melainkan lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas nan spesifik alias tertentu, institusi, korporasi, pekerjaan alias jabatan," jelas Hakim Arief.
“Dengan demikian, untuk menjamin kepastian norma sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka terhadap Pasal 27A UU 1/2024 kudu dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa "orang lain" tidak dimaknai selain lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik alias tertentu, institusi, korporasi, pekerjaan alias jabatan,” ungkap Hakim Arief.
Menimbulkan Multi-Tafsir
Selain itu, MK juga memberikan penjelasan berangkaian dengan frasa "suatu hal" dalam norma Pasal 27A UU 1/2024 nan dinilai Pemohon menimbulkan ketidakjelasan alias multitafsir dalam penegakannya. Menurut Mahkamah, frasa "suatu hal" berangkaian dengan langkah menuduhkan suatu perihal dengan maksud agar perihal tersebut diketahui umum.
"Norma tersebut mengatur tentang larangan perbuatan menyerang kehormatan alias nama baik "orang lain" dengan "menuduhkan suatu hal" melalui sistem elektronik," tutur Hakim Arief.
Namun pada Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 frasa "suatu hal" tersebut tidak disertai dengan penjelasan lebih lanjut, sehingga berpotensi menimbulkan multitafsir andaikan tidak diberikan batas normatif nan tegas.
"Apabila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "hal" mempunyai makna nan sangat umum dan beragam, mulai dari peristiwa, keadaan, urusan, masalah, hingga tentang alias mengenai. Oleh karenanya penggunaan frasa "suatu hal" dalam konteks delik pencemaran nama baik dapat menimbulkan kerancuan antara perbuatan pencemaran nama baik dan penghinaan biasa," jelas Hakim Arief.
"Apabila frasa tersebut ditafsirkan terlalu luas, maka bakal terjadi penggabungan nan tidak proporsional antara dua corak perbuatan nan berbeda, nan pada akhirnya menciptakan ketidakpastian hukum," sambungnya.