ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta DPP PDI Perjuangan (PDIP) di laman Masjid At-Taufiq, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (17/1/2024) ini menggelar aktivitas wayang semalam suntuk dengan lakon Lahirnya Wisanggeni.
Wayang semalam suntuk ini menjadi rangkaian seremoni HUT PDIP dan didalangi Ki Amar Pradopo Warseno Slank serta Ki Sri Susilo Thengkleng.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri turut menyaksikan wayang secara daring. Sementara itu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto datang secara langsung.
Hasto tampak didampingi Wasekjen PDIP Yoseph Aryo Adhi Dharmo, Wabendum PDIP Yuke Yurike, dan politikus PDIP Muhammad Guntur Romli saat datang ke aktivitas wayang tersebut.
Dalam sambutannya, dia mengungkap pesan Megawati nan mengulas pentingnya makna tema HUT PDIP, Satyam Eva Jayate: Api Perjuangan Nan Tak Kunjung Padam.
"Suatu pesan nan mulia, nan mengandung suatu pelajaran nan sangat krusial bahwa berpolitik adalah memperjuangkan peradaban Indonesia agar berdaulat, berdikari, dan berkarakter dalam kebudayaan," kata Hasto membuka pidato dengan mengungkap pesan Megawati, Jumat.
Hasto menyatakan upaya berpolitik memperjuangkan kedaulatan dan kemandirian seperti dilakukan PDIP, seringkali dihadapkan ujian dan gemblengan.
"Gemblengan-gemblengan tersebut tidak membikin kita surut, justru membikin PDI Perjuangan semakin kokoh dan tegak berdiri," ujar Hasto.
Dia melanjutkan Megawati dalam pesannya mengingatkan bahwa PDIP pada tahun ini juga bakal melalui banyak tantangan nan disebut vivere pericoloso.
"Beliau mengingatkan bahwa tahun-tahun ini adalah tahun vivere pericoloso, tahun menghadapi beragam bahaya, tahun menghadapi beragam rintangan," ujar alumnus Universitas Pertahanan (Unhan) itu.
Suasana Partai
Hasto mengatakan lakon nan dimainkan, menggambarkan betul suasana kebatinan partai berlambang kepala banteng itu saat ini.
Hasto juga menekankan bahwa ada teladan dan pelajaran nan bisa direfleksikan dari dua tokoh dalam lakon itu, ialah dari Wisanggeni dan Batara Narada, nan kontekstual dengan kondisi saat ini.
“Cerita Lahirnya Wisanggeni; Wisanggeni itu artinya racun api; dia menggambarkan seluruh suasana kebatinan PDI Perjuangan. Kita lahir bukan di tengah kasur empuk, tapi di tengah gemblengan sejarah. Justru di tengah gemblengan maha dashyat, datang dalam sosok bayi nan dibuang di candradimuka, tak lenyap dan lenyap, tapi tumbuh menjadi ksatria sakti nan cinta kebenaran dan setia kepada rakyat,” kata Hasto Kristiyanto.
Hasto menceritakan singkat kisah Lahirnya Wisanggeni, anak dari Arjuna dan Batara Dresanala. Hubungan pasangan ini membikin Dewasrani (anak dari Batara Guru dan Dewi Durga) cemburu. Dewasrani menbujuk Dewi Durga agar bisa memisahkan hubungan Arjuna dan Dresanala. Dengan otoritas Batara Guru, dilakukan pemisahan paksa.
Batara Narada, dengan kejernihan alam pikir dan moralnya, melakukan protes atas itu. Tapi ambisi kekuasaan Batara Guru sangat sadis hingga memerintahkan agar bayi dalam kandungan Dresanala dipaksa lahir lebih cepat, dan bayinya dibuang ke kawah candradimuka.
Sang bayi, berjulukan Wisanggeni, mengalami keajaiban. Bukannya mati, namun pembuangan ke kawah justru menjadikannya sakti mandraguna, dan bisa menegakkan keberaran dan keadilan.
Sejumlah Pesan
Dari kisah itu, Hasto mengatakan ada beberapa pesan.
Pertama, ketidakadilan bisa terjadi seperti dirasakan oleh Dreaanala. Dunia menjadi gelap. Tetapi pada akhirnya keadilan bakal datang, lantaran akhir kisah Wisanggeni lahir adalah Arjuna-Dresanala akhirnya berasosiasi dengan Wisanggeni.
“Keadilan bakal mencari jalannya sendiri, karenanya kitapun meyakini Satyam Eva Jayate bekerja di dalam diri Dresanala dan Wisanggeni,” kata Hasto.
Pesan kedua adalah kesetiaan kepada tugas seperti ditunjukkan Batara Narada. Sang batara itu selalu memperjuangkan kebenaran meski kudu kehilangan pangkat dan jabatan.
“Semoga kita bisa jadi Narada-Narada nan memperjuangkan kebenaran meski kudu kehilangan pangkat dan jabatan, Narada tak berubah lantaran setia pada jalan moral dan etika,” tegas Hasto.
Pesan ketiga adalah bahwa dibalik persoalan kehidupan, kerap kali dimulai dari perihal sederhana. Misalnya, gimana sikap berprasangka dan nafsu kekuasaan memicu kekacauan.
“Maka mari kita introspeksi, dengan kritik dan otokritik, kita sadari kelemahan kita, dan memperbaiki secara organisatoris. Sehingga PDI Perjuangan di usia 52 tahun bisa menyerap nilai-nilai ini dan datang menjadi kekuataan nan berfaedah bagi negeri ini,” urai Hasto.