ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Ketua Panja RUU TNI Utut Adianto angkat bunyi dorongan publik nan meminta agar proses perubahan UU TNI dihentikan lantaran berpotensi mengembalikan dwifungsi militer.
Menurutnya semangat era saat ini berbeda ketika menyatakan dwifungsi bakal kembali seperti masa rezim Orde Baru (Orba) berkuasa lewat agenda perubahan UU 34/2004 tentang TNI saat ini.
"Kalau TNI ditakutkan bakal kembali seperti era Orde Baru, saya udah usia 60 tahun, agar dipahami di bumi ini enggak ada nan bisa membalikkan jarum jam," katanya kepada wartawan di sela-sela rapat panja nan digelar di Hotel Fairmont, Sabtu (15/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semangat zamannya beda," imbuh politikus PDIP itu.
Rapat panja di hotel tersebut sudah berjalan sejak Jumat (14/3).
Menurutnya pembuatan undang-undang dilakukan pemerintah dan DPR bukan untuk golongan tertentu, melainkan untuk Indonesia.
"Ketika membikin undang-undang itu buat siapa? Buat golongan tertentukah? Buat diri saya kah? Ini saya pastikan untuk Merah Putih, untuk Indonesia. Enggak bakal ada any wrong doing, enggak bakal ada any wrong doing," kata laki-laki nan sebelumnya dikenal sebagai atlet catur dengan titel Grand Master tersebut.
Utut memandang adanya penolakan terhadap Revisi UU TNI berasal dari mereka-mereka nan mempunyai masa lampau traumatis. Pasalnya, dia menilai jika ditelaah lebih jauh revisi tersebut dibutuhkan untuk masa depan nan lebih baik.
"Yang masa lampaunya traumatis, pasti kontra. Tapi jika kita memandang ke depan, moving forward, dugaan saya ini okey-dokey," katanya.
Utut lantas meminta agar masyarakat tidak cemas secara berlebihan mengenai Revisi UU TNI itu. Menurutnya Revisi dilakukan dengan niatan baik untuk kepentingan bangsa.
"Yang saya perlu sampaikan ke teman-teman, janganlah cemas berlebihan. Tetapi jika keberpihakan saya enggak bisa omong," tuturnya.
"Cuman please kita sesama anak bangsa tidak saling menjelekkan. Kalau orang kayak saya pasti niatannya baik," imbuhnya.
Komisi I DPR berbareng pemerintah kembali menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) mengenai revisi Undang-Undang TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, pada Sabtu (15/3) hari ini.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sebelumnya mengaku telah menugaskan Sekjen Kemenhan untuk ikut terlibat pembahasan RUU tersebut berbareng DPR. Pihaknya mau agar RUU TNI selesai sebelum masa reses DPR.
Sjafrie mengatakan ada empat poin pokok objek perubahan RUU TNI nan telah diserahkan pemerintah kepada DPR. Pertama, penguatan dan modernisasi alutsista.
Kedua, memperjelas batas penempatan TNI dalam tugas nonmiliter di lembaga sipil. Ketiga, peningkatan kesejahteraan prajurit. Terakhir, mengatur pemisah usia pensiun TNI.
Namun, Sjafrie menegaskan revisi hanya bakal menyasar tiga pasal. Masing-masing Pasal 3 soal kedudukan TNI, Pasal 47 mengenai penempatan TNI di lembaga sipil, dan Pasal 53 mengenai masa pensiun.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik keras langkah Panitia Kerja Revisi UU TNI dan pemerintah membahas perubahan UU 34/2004 tentang TNI di hotel mewah, Fairmont, Jakarta, selama dua hari terakhir.
Pada Sabtu kemarin pun ada perwakilan koalisi sipil nan datang ke hotel mewah tersebut dan melakukan tindakan di depan ruang nan dipakai pembahasan RUU TNI. Menurut koalisi sipil pembahasan nan kebut apalagi sampai dibahas di hotel mewah bintang 5 pada akhir pekan ini menunjukkan pemerintah dan DPR menyakiti hati rakyat.
Selain itu, dalam pernyataan sikap resminya, mereka menolak revisi UU TNI saat ini. Mereka menilai agenda dari pengubahan UU TNI itu berpotensi mengembalikan dwifungsi militer seperti nan pernah dipraktikan rezim Orba di bawah kendali Presiden kedua RI Soeharto.
"Agenda revisi UU TNI justru bakal melemahkan profesionalisme militer itu sendiri dan sangat berpotensi mengembalikan Dwifungsi TNI dimana militer aktif bakal dapat menduduki jabatan-jabatan sipil," demikian pernyataan koalisi sipil nan diterima Sabtu (15/3) malam.
"Perluasan penempatan TNI aktif di kedudukan sipil, tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi sipil dari kedudukan sipil, menguatkan kekuasaan militer di ranah sipil dan pembuatan kebijakan, dan loyalitas ganda," tambahnya.
Koalisi itu terdiri atas sejumlah organisasi dan golongan masyarakat sipil seperti Imparsial, YLBHI, Walhi, KontraS, Setara Institute, AJI Jakarta, hingga BEM SI.
"Kami menolak draf RUU TNI maupun DIM [Daftar Inventaris Masalah] RUU TNI nan disampaikan Pemerintah ke DPR lantaran mengandung pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia," kata mereka.
(kid/tfq)