Nasdem Tolak Putusan Pemisahan Pemilu, Sebut Mk Curi Kedaulatan Rakyat

Sedang Trending 10 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta - Partai NasDem menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nan memisahkan pemilihan umum (pemilu) serentak. NasDem mengatakan, MK sedang melalukan pencurian kedaulatan rakyat melalui putusan tersebut.

"Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat," kata Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat dalam konvensi pers di NasDem Tower Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).

Dia mengatakan, MK tak diberikan kewenangan mengubah norma dalam UUD 1945. Untuk itu, putusan MK mengenai pemisahan pemilu serentak bertentangan dengan UUD 1945.

"Sehingga putusan MK mengenai pergeseran pemilihan kepala wilayah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun adalah inkonstitusional bertentangan dengan pasal 22B UUD 1945," ucap Lestari.

Lestari menyampaikan putusan MK tersebut dapat mengakibatkan krisis konstitusional, apalagi deadlock constitutional. Sebab, andaikan putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi.

Dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, disampaikan bahwa pemilu serentak dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sementara dalam putusan MK, pemilu nasional dan wilayah dilakukan terpisah dengan jarak waktu paling singkat dua tahun alias paling lama dua tahun dan enam bulan.

"Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional," ujar Lestari.

Dia menilai MK mengambil kewenangan legislatif mengenai open legal policy nan merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah). Lestari menyebut MK juga telah melanggar prinsip kepastian norma nan semestinya tidak mudah berubah dan kudu konsisten.

"MK telah menjadi negative legislator sendiri nan bukan kewenangannya dalam sistem norma nan demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi norma dan konstitusi," tutur Lestari.

Putusan MK

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan wilayah dipisahkan dengan jarak waktu paling singkat 2 tahun alias paling lama 2 tahun 6 bulan.

Pemilu nasional meliputi pemilihan personil DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu wilayah terdiri atas pemilihan personil DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

Dalam perihal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan nan diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) nan diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.

Secara lebih rinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

"Pemungutan bunyi dilaksanakan secara serentak untuk memilih personil DPR, personil DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun alias paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan personil DPR dan personil DPD alias sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan bunyi secara serentak untuk memilih personil DPRD provinsi, personil DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur alias hari nan diliburkan secara nasional."

Selengkapnya