ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan nan terdiri dari setidaknya 186 organisasi mulai membikin petisi penolakan dwifungsi TNI melalui Revisi UU TNI nan sedang dibahas pemerintah dan DPR.
Petisi dibuat pada Minggu, 16 Maret 2025 dan sudah ditandatangani 6.016 orang per pukul 14.01 WIB, Senin (17/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koalisi mempermasalahkan pasal-pasal nan bakal mengembalikan dwifungsi TNI sebagaimana tertuang dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) nan diserahkan pemerintah ke DPR pada 11 Maret 1025.
Menurut Koalisi, agenda revisi UU TNI tidak mempunyai urgensi transformasi ke arah nan profesional. Revisi saat ini dinilai berpotensi mengganggu profesionalisme militer.
"Sebagai perangkat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik dan disiapkan untuk perang, bukan untuk kegunaan non-pertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil," tulis Koalisi.
Dalam konteks reformasi sektor keamanan, pemerintah dan DPR semestinya mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui Revisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Agenda itu lebih krusial dibandingkan RUU TNI lantaran merupakan tanggungjawab konstitusional negara untuk menjalankan prinsip persamaan di hadapan norma (equality before the law) bagi semua penduduk negara tanpa kecuali.
Lagi pula, reformasi peradilan militer merupakan mandat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU 34/2004 tentang TNI.
Koalisi menilai ekspansi penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kedudukan sipil tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi penduduk sipil dari kedudukan sipil, menguatkan kekuasaan militer di ranah sipil dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda.
Selain itu, merebut kedudukan sipil dan memarginalkan ASN dan wanita dalam akses posisi-posisi strategis.
Koalisi juga mengkritik pelibatan militer dalam operasi selain perang hanya bisa dilakukan atas dasar keputusan politik negara, bukan melalui MoU sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 3 UU TNI.
"Kami memandang bahwa ekspansi tugas militer untuk menangani narkotika adalah keliru dan bisa rawan bagi negara hukum. Penanganan masalah narkotika utamanya berada dalam koridor kesehatan, penegakkan norma nan proporsional, bukan perang," kata Koalisi.
Pelibatan TNI dalam mengatasi narkotika, menurut Koalisi, bakal melanggengkan penggunaan "war model".
"Tentu perihal ini bakal menimbulkan terjadinya kekerasan nan berlebihan nan serius. Apa nan terjadi di Filipina pada masa Rodrigo Duterte dalam 'war model' untuk penanganan narkoba adalah contoh nan tidak baik lantaran telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM," ucap Koalisi.
Lebih rawan lagi, RUU TNI juga hendak merevisi klausul pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tanpa perlu persetujuan DPR. TNI mau operasi militer selain perang cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Padahal, operasi semacam itu termasuk kebijakan politik negara, ialah Presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana diatur oleh Pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004).
"RUU TNI mau meniadakan peran Parlemen sebagai wakil rakyat. Ini bakal menimbulkan bentrok kewenangan alias tumpang tindih dengan lembaga lain dalam mengatasi masalah di dalam negeri," tutur Koalisi.
"Secara tersirat, perubahan Pasal itu merupakan corak pengambilalihan kewenangan wakil rakyat oleh TNI dalam operasi militer selain perang dan menghilangkan kontrol sipil," sambungnya.
Lebih lanjut, Koalisi menilai revisi tersebut hanya untuk melegitimasi mobilisasi dan ekspansi keterlibatan prajurit TNI dalam persoalan domestik seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), pengedaran gas elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, penyelenggaraan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta penertiban dan penjagaan area rimba apalagi sampai pengelolaan ibadah haji.
"Kami menolak RUU TNI maupun DIM RUU TNI nan disampaikan Pemerintah ke DPR lantaran mengandung Pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia," tegas Koalisi.
(ryn/tsa)
[Gambas:Video CNN]