ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Salah satu corak kekerasan seksual pada wanita adalah praktik Pelukaan alias Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP), nan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C), alias lebih umum disebut sunat wanita di masyarakat.
Di Indonesia, P2GP dilakukan dalam beragam bentuk, mulai dari pemotongan sebagian alias seluruh klitoris hingga pelukaan dengan langkah goresan, cubitan, jepitan koin, sayatan, alias menggunakan patokan ayam. Meskipun tidak dianjurkan secara medis, praktik ini muncul lantaran aspek budaya, sosial, dan kepercayaan.
Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Prof Alimatul Qibtiyah mengatakan pihaknya telah melakukan sejumlah penelitian mengenai sunat perempuan, salah satunya penelitian berbareng Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) pada 2017 di 10 provinsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian tersebut menemukan bahwa banyak praktik sunat wanita di Indonesia dilakukan lantaran pengaruh pemahaman agama.
"Salah satu di antara temuannya adalah 92 persen itu orang melakukan sunat wanita itu lantaran dipengaruhi oleh mengerti agama," tegas Prof Ali, sapaannya, saat ditemui di UN Office, Jakarta Pusat, Selasa (11/3/2025).
"Kalau dari hasil pemantauannya Komnas Perempuan tetap banyak terjadi dengan beragam macam cara, termasuk juga nan simbolis nan dipotong kunyit itu juga ada. Misalnya alat-alat nan digunakan itu ya ada nan pakai gabah, gabah beras nan nyantil itu, ada nan pakai patok ayam," lanjutnya lagi.
1. Prevalensi Sunat Perempuan di Dunia dan Indonesia
Berdasarkan laporan dunia United Nations Children's Fund (UNICEF) 2024, lebih dari 230 juta wanita dan anak wanita di seluruh bumi telah mengalami P2GP. Sementara itu United Nations Population Fund (UNFPA) memperkirakan bahwa 68 juta anak wanita berisiko mengalami sunat wanita antara tahun 2015 hingga 2030.
Di Indonesia, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 mencatat bahwa 46,3 persen wanita berumur 15 hingga 49 tahun pernah menjalani sunat perempuan. Survei ini dilakukan di 178 kabupaten/kota, dengan jumlah sampel nan ditargetkan sebanyak 14.240 rumah tangga di 1.424 blok sensus.
Survei ini melibatkan wanita berumur 15 hingga 64 tahun, nan diwajibkan memberikan jawaban secara langsung tanpa perwakilan. Hasil survei menunjukkan bahwa praktik sunat wanita lebih banyak terjadi di wilayah perkotaan dibandingkan di pedesaan.
Jika dibandingkan dengan info dari SPHPN 2021, kasus sunat wanita di Indonesia mengalami penurunan pada 2024. Pada tahun 2021, 55 persen wanita berumur 15 hingga 49 tahun tercatat pernah mengalami praktik ini.
"Prevalensi P2GP alias sunat wanita di Indonesia pada tahun 2024 itu 46,3 persen, dibandingkan tahun 2021 itu 55 persen. Meskipun ada penurunan dibandingkan 2021, penurunan ini belum signifikan dan tetap ada tantangan untuk mencapai sasaran SDGs 5.3.2," kata Fadilla D Putri, Programme Officer for Gender UNFPA.
2. Dampak Sunat Perempuan alias P2GP pada Kesehatan
Sunat wanita tidak mempunyai faedah kesehatan dan justru dapat menimbulkan beragam akibat negatif. Praktik ini melibatkan pengangkatan jaringan genital wanita nan sehat dan normal, sehingga mengganggu kegunaan alami tubuh.
Sunat wanita juga dapat meningkatkan akibat gangguan psikologis serta masalah kesehatan reproduksi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Komplikasi jangka pendek nan mungkin terjadi meliputi nyeri hebat, syok, perdarahan, tetanus, infeksi, retensi urine, jangkitan luka, jangkitan saluran kemih, hingga demam.
Sementara itu, komplikasi jangka panjang dapat mencakup gangguan selama persalinan, anemia, pembentukan kista dan abses, munculnya jejak luka keloid, kerusakan pada uretra, hubungan seksual nan menyakitkan, disfungsi seksual, hipersensitivitas area genital, serta akibat psikologis nan berkepanjangan.
"Yang sangat ekstrem kayak di Afrika, minta maaf ya, jika klitoris itu kan semacam seperti memberikan sensasi kepada wanita atas kenikmatan dan seksualnya. Kalau diambil otomatis hilang," kata dr Fabiola Tanzrina, Direktur Bina Kesehatan Reproduksi, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dalam aktivitas nan sama.
"Ada juga nan hanya ditoreh alias diambil sedikit, artinya di klitoris itu bakal ada jaringan parut. Kalau jaringan parut, otomatis dia saraf-sarafnya tidak sesensitif ketika dia sehat. Jadi otomatis juga mempengaruhi sensasi seksual sendiri nan dirasakan oleh perempuan," katanya lagi.
Dampak kesehatan akibat sunat wanita alias P2GP juga dirasakan oleh Melody (bukan nama sebenarnya) (29), wanita asal Makassar nan saat ini bekerja menjadi tenaga kerja swasta di Jakarta.
Melody mengaku pernah menjalani sunat wanita saat berumur enam alias tujuh tahun. Menurutnya, praktik tersebut dilakukan lantaran budaya di wilayahnya, dengan tujuan agar wanita nan disunat tidak menjadi 'nafsuan' saat dewasa.
Akibat praktik tersebut, Melody mengaku mengalami masalah kesehatan, seperti rasa sakit saat berkemih. Selain itu, dia juga mengalami gangguan psikologis akibat pengalaman tersebut.
"Praktik ini tuh sayangnya sampai sekarang sih tetap dilakukan di beberapa daerah, meski medis juga udah bilang nggak ngaruhnya," kata Melody saat dihubungi detikaicom, Rabu (12/3).
"Karena saya sudah tahu jika praktik sunat wanita ini turns out membahayakan buat perempuan, sebisa mungkin saya putus rantainya, seenggaknya di keluargaku," ucapnya lagi.
Senada dengan Melody, Karin (bukan nama sebenarnya), seorang wanita berumur 28 tahun asal Bekasi, juga mengalami praktik tersebut saat baru berumur seminggu. Ia disunat dengan argumen nan sama, ialah agar tidak menjadi "nafsuan" saat dewasa.
Menurut pengakuan orang tuanya, saat tetap bayi, Karin sering menangis lantaran merasakan sakit saat berkemih.
"Pas dibasuh abis buang air mini nangis gitu, mungkin perih ya, pas pipis juga nangis gitu," katanya.
3. Bagaimana Regulasi Sunat Perempuan di RI?
Pada April 2024, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Regulasi ini secara definitif melarang praktik sunat perempuan. Larangan tersebut tercantum dalam Pasal 102 huruf a, nan menyatakan bahwa upaya kesehatan reproduksi bagi bayi, balita, dan anak prasekolah kudu mencakup langkah untuk menghapus praktik sunat perempuan.
Kebijakan ini bermaksud untuk menjaga kesehatan reproduksi dan melindungi hak-hak anak perempuan. Sunat wanita dianggap tidak mempunyai faedah medis dan justru dapat menimbulkan akibat kesehatan.
Meskipun izin ini telah diterbitkan, praktik sunat wanita tetap ditemukan di beberapa daerah. Faktor budaya serta kurangnya sosialisasi mengenai ancaman dan larangan praktik ini menjadi tantangan utama dalam penerapan patokan tersebut. Oleh lantaran itu, diperlukan upaya edukasi nan lebih luas kepada masyarakat agar peraturan ini dapat diterapkan secara efektif.
"Praktik P2GP, termasuk bentuk-bentuk medis dan simboliknya, kudu dihapuskan secara bertahap, terutama jika praktik tersebut berakar pada diskriminasi berbasis gender," kata Dessy Andriani, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) saat ditemui di instansi UN Office, Jakarta, Rabu (12/3).
"Untuk mengatasi masalah ini, kita memerlukan pendekatan multisektoral nan komprehensif, sehingga ini bukan upaya satu sektor saja. Oleh lantaran itu, krusial bagi kita meningkatkan kerjasama dan koordinasi di antara semua pemangku kepentingan mengenai untuk memastikan respons nan holistik dan berkelanjutan," lanjutnya.
(suc/up)