Mencermati Kondisi Toleransi Beragama Di 100 Hari Kerja Pemerintahan Prabowo-gibran

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta - Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, situasi toleransi antara umat berakidah di Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan periode pemerintahan sebelumnya. Dia mengatakan, parameter keberhasilan toleransi, menurutnya dapat dilihat pada dua level yakni, mikro dan wacana publik.

"Kalau mengenai parameter kita kudu lihat. Mau di level nan tadi, di level nan sangat mikro, hubungan langsung alias di level wacana publik," kata dia kepada detikai.com, Selasa (28/1/2025).

Di level mikro, Rissalwan membeberkan indikatornya dapat ditemukan dalam hubungan langsung antar individu, di mana orang saling menghargai praktik agama masing-masing.

Dia mencontohkan, toleransi sudah terbentuk ketika perseorangan dapat berbual tentang kepercayaan mereka sendiri maupun kepercayaan orang lain, tanpa ada rasa merendahkan.

"Jadi jika kita sudah bisa berbual sesuatu membikin lelucon pertama untuk kepercayaan kita sendiri. Kemudian kita membikin juga untuk agamanya dan dia tertawa juga. Itu saya kira parameter di mana secara mikro toleransi sudah terbangun," ucap dia.

Sedangkan, kata dia di level publik, parameter utamanya adalah minimnya perdebatan mengenai rumor keagamaan di ruang media sosial serta berkurangnya hoaks nan memprovokasi perpecahan.

Menurut dia, toleransi tercermin ketika isu-isu sensitif semacam itu tidak lagi menjadi topik nan diperdebatkan di ruang publik, alias jika dibahas, tingkat penyebaran hoaks menurun signifikan.

"Level wacana publik nan tinggi, saya kira indikatornya ketika kita bicara tentang perbedaan suku, perbedaan kepercayaan tidak menjadi bahan perbincangan," ujar dia.

Dalam 100 hari kerja Pemerintahan Prabowo Subianto, Rissalwan menilai banyak tren positif nan patut diapresiasi. Misalnya dalam penanganan rumor keberagaman.

Dia menerangkan, pemerintahan saat ini dinilai tidak memanfaatkan isu-isu perbedaan alias bentrok sebagai bagian dari strategi politik, sehingga menciptakan suasana toleransi nan terlihat lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.

Era Jokowi

Sementara pada era Presiden Jokowi, toleransi condong tampak relatif, bukan lantaran ada masalah nyata di level masyarakat, melainkan lantaran pendekatan kebijakan nan disebut dia sebagai 'konflik manajemen'.

Pendekatan ini, menurutnya, secara sengaja mempertemukan kelompok-kelompok tertentu, termasuk netizen, nan berujung pada perdebatan di bumi maya.

Sebaliknya, dia memandang pendekatan ini berubah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Langkah-langkah nan diambil Prabowo selama 100 hari kerjanya.

"Pemerintahan saat ini tidak memanfaatkan rumor perbedaan alias bentrok manajemen seperti nan terjadi di era Pak Jokowi. Saat ini pendekatan tersebut tidak lagi digunakan, dan toleransi semakin meningkat," ujar dia.

Lebih lanjut, dia mengatakan, peran pemerintah dalam menjaga kebebasan berakidah saat ini juga sudah cukup baik, tidak hanya dalam aspek simbolis seperti keberadaan Jembatan Toleransi antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta, nan menjadi simbol harmoni lintas agama. Tetapi juga, kata dia dalam menghindari isu-isu nan dapat memperkuat perbedaan antar umat beragama.

Dia menambahkan bahwa pemerintah saat ini tampak berupaya menjaga stabilitas tanpa membesar-besarkan perbedaan, sebagaimana nan terjadi pada periode sebelumnya. Sebagai contoh, rumor nan kerap digoreng di masa lalu, seperti perdebatan seputar pengucapan selamat Natal dalam Islam, sekarang tidak lagi mencuat secara signifikan.

Menurutnya, pendekatan ini menunjukkan upaya pemerintah nan lebih kondusif dalam menciptakan harmoni sosial. Dia berambisi tren ini terus berlanjut.

"Jadi mudah-mudahan kelak ini juga menjelang Ramadan dan kemudian Lebaran Idul Fitri juga demikian. Tidak dijadikan bahan untuk dipertentangkan. Karena saya menduga memang itu ada tujuan politik di masa nan lalu," ujar dia.

Tantangan Baru

Meski demikian, dia menyadari bahwa tantangan baru tetap ada, terutama dalam menghadapi penyebaran hoaks di media sosial nan sengaja dibangun untuk memperburuk hubungan antar umat beragama.

Dia mencontohkan pengalaman pribadinya baru-baru ini di Papua, di mana dia menyaksikan adanya jokes lintas kepercayaan yang, meskipun dapat dianggap kontroversial, menunjukkan tingkat toleransi nan tinggi antara beragama.

Menurut dia, masalah muncul ketika obrolan tentang toleransi nan awalnya informal kemudian normalisasi dan dibuka ke ruang publik, khususnya melalui media sosial, nan sering kali mengarah pada ketegangan.

Ditambah dengan hoaks nan semakin marak. Dia menilai perihal ini menjadi tantangan besar dalam membangun pemahaman dan toleransi nan lebih baik di masyarakat.

"Saya kira itu nan menjadi tantangan adalah ketika obrolan tentang toleransi ini justru normalisasi dan kemudian dibuka seluas-luasnya. Apalagi di ruang publik melalui medsos begitu, itu menjadi sensitif dan ditambah dengan hoaks. Itu tantangannya," ujar dia.

Tantangan ini lebih terasa di perkotaan, di mana penggunaan media sosial lebih masif dibandingkan dengan di pedesaan.

Dia menjelaskan hubungan lintas kepercayaan lebih cair di pedesaan lantaran masyarakat lebih berfokus pada kebersamaan dan hubungan langsung.

Sebaliknya, di perkotaan, media sosial lebih mudah diakses, rumor toleransi sering kali menjadi lebih sensitif dan mudah memicu perdebatan.

"Tentunya iya (ada perbedaan) Itu tadi lantaran aspek penggunaan media sosial nan relatif lebih tinggi di perkotaan. Tentunya di perkotaan menjadi lebih sensitif terhadap rumor toleransi. Di pedesaan saya memandang itu tidak terjadi," ujar dia.

Pengalaman di Papua

Dia mencontohkan pengalamannya di Papua, di mana masyarakat setempat sangat terbuka terhadap perbedaan, baik dalam perihal kepercayaan maupun budaya.

"Misalnya ketika kita datang, saya ingat tahun lampau saya datang di bulan puasa. Dia tanya, Bapak berpuasa kah? Mohon maaf, di sini kami tidak ada puasa, tidak ada azan. Dia menjelaskan itu. Terus waktu dia bilang, Bapak sembayang kah? Terus jika sembayang kita juga tidak ada tempat. Tapi tempat kami di sini nan bersih. Barat sebelah sana Bapak," ujar dia.

Dia mengatakan, situasi seperti ini menunjukkan bahwa di pedesaan, toleransi berakidah dan antarbudaya lebih mudah diterima dan dipahami, tanpa ada emosi terasingkan antara golongan nan berbeda.

"Jadi menurut saya orang-orang di pedesaan itu ruang toleransinya sangat tinggi," ujar dia.

Dia menekankan pemerintah memegang peran vital dalam menjaga situasi tetap kondusif. Karena itu, dia menyarankan pemerintah untuk menghentikan penggunaan menghentikan penggunaan buzzer alias influencer untuk kepentingan politik alias sosial.

Masyarakat Diharap Tak Terpengaruh

Menurutnya, influencer sering kali dibayar mahal untuk menarik perhatian dan menciptakan keramaian, namun perihal ini tidak selalu menghasilkan akibat positif.

"Hentikan menggunakan Buzzer. Hentikan menggunakan influencer. Uang nan sekian banyak itu lebih baik kita gunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial nan real," ujar dia.

Di sisi lain, masyarakat juga diharapkan tidak terlalu terpengaruh oleh narasi negatif nan sering muncul di media sosial.

Dia meletakkan angan besar kepada pemerintahan Prabowo dalam menjaga toleransi beragama. Menurut dia, pemerintah telah menunjukkan upaya, tetapi keberlanjutan ini berjuntai pada komitmen dan konsistensi pemerintah untuk terus menempatkan toleransi dan kebersamaan sebagai prioritas utama.

"Kita adalah satu bangsa. Kita bukan kepercayaan A, kepercayaan B, kepercayaan C. Kita adalah Indonesia. Jadi tinggal sekarang kemauan dari pemerintah untuk terus menjaga toleransi, perdamaian, kebersamaan sebagai satu bangsa," tandas dia.

Selengkapnya