ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan nan mendampingi perseorangan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membeberkan lima poin argumen menggugat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemohon uji formil tersebut terdiri dari tiga organisasi nan aktif melakukan kerja pembelaan HAM dan kerakyatan serta aktif mendorong reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI, ialah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Tiga pemohon perorangan Warga Negara Indonesia ialah Aktivis HAM nan juga merupakan Putri Presiden RI ke-4 Inayah Wahid, mantan Koordinator KontraS Fatiah Maulidiyanty, dan aktivis mahasiswa Eva Nurcahyani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Permohonan uji formil ke Mahkamah Konstitusi ini merupakan corak keberlanjutan aktivitas masyarakat sipil untuk menolak Revisi UU TNI nan tidak hanya mengabaikan partisipasi publik bermakna, tetapi juga memperkuat pengaruh militer dalam ruang-ruang sipil," ujar Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) dalam rilisnya, Kamis (8/5).
Mereka mendalilkan UU TNI dibuat secara ugal-ugalan (abusive law making) dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan nan berlaku. Berikut lima argumen nan dibeberkan mereka.
Pertama, menurut mereka, perencanaan revisi UU TNI dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2025 dilakukan secara terlarangan sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 22A UUD 1945, Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dan Tata Tertib DPR.
"Hal ini lantaran pengambilan keputusan untuk memasukkan revisi UU TNI tidak termasuk dalam agenda Rapat Paripurna tanggal 18 Februari 2025 tersebut. Namun, secara tiba-tiba, Ketua Sidang Adies Kadir (Wakil Ketua DPR, Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar)), meminta persetujuan personil DPR nan datang dalam Rapat Paripurna untuk menyetujui Revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025," kata TAUD.
Kedua, revisi UU TNI bukan carry over sehingga pembahasannya melanggar Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 22A UUD 1945, UU P3 dan Tata Tertib DPR.
Revisi UU TNI dibilang tidak termasuk dalam 12 RUU carry over sebagaimana tertuang dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 dan Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029.
"Oleh lantaran itu, Revisi UU TNI tidak sepatutnya dilanjutkan ke tahap pembahasan melainkan kudu terlebih dulu melalui tahapan perencanaan dan penyusunan Undang-undang," imbuhnya.
Ketiga, TAUD menyebut revisi UU TNI tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI nan ditetapkan oleh beragam politik norma mengenai TNI pascareformasi 1998.
Satu di antara maksud awal (original intent) pembentukan UU 34/2004 adalah memisahkan TNI dari politik dan upaya demi terwujudnya tentara nan profesional. Namun, penambahan posisi kedudukan sipil nan dapat dijabat oleh prajurit aktif pada Pasal 47 Revisi UU TNI justru memperluas peran militer di wilayah sipil.
"Hal ini jelas bertentangan dengan asas kejelasan tujuan serta asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sebagaimana termaktub dalam UU P3," ungkap TAUD.
Keempat, proses pembahasan revisi UU TNI disebut dengan sengaja menutup partisipasi publik dan tidak transparan sehingga menimbulkan kegagalan pembentukan hukum.
Hal itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, Pasal 22A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945 serta UU P3 dan Tata Tertib DPR.
Segala arsip pembentukan revisi UU TNI mulai dari Naskah Akademik, Daftar Inventaris Masalah (DIM), hingga Undang-undang itu sendiri tidak dapat diakses oleh publik.
Selain itu, sejumlah rapat pembentukan revisi UU TNI oleh DPR dan Pemerintah digelar secara sembunyi-sembunyi di ruang tertutup.
"Hal ini mempertegas abusive law making dalam pembentukan revisi UU TNI," kata TAUD.
Poin kelima, Presiden dan DPR dengan sengaja menahan revisi UU TNI dan tidak langsung membuka akses arsip revisi kepada publik.
Hingga saat ini, Presiden dan DPR belum menyebarluaskan revisi UU TNI nan telah diundangkan. Pada laman resmi Pemerintah maupun DPR tidak dapat ditemukan arsip revisi UU TNI.
"Hal ini jelas menyalahi asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 UU P3," ungkap TAUD.
Berdasarkan sejumlah argumentasi tersebut, TAUD menuntut MK untuk menyatakan pembentukan UU 3/2025 tentang TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-undang serta tidak mempunyai kekuatan norma mengikat dan tidak bertindak kembali.
Selain itu, para pemohon mengusulkan permohonan provisi dalam rangka menghindari munculnya akibat sudah dibentuknya peraturan pelaksana, sudah dilaksanakannya UU, dan/atau sudah mengakibatkan akibat nan dapat merugikan penduduk negara terutama kepada para pemohon nan dalam penalaran wajar dipastikan tidak dapat dipulihkan kembali selama masa pengetesan formil berlangsung.
Para pemohon mendalilkan telah ada beragam penerapan revisi UU TNI oleh Pemerintah, salah satunya kondisi Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Muhammad Ali nan semestinya telah memasuki masa pensiun jika berkaca pada UU 34/2004, namun akibat berlakunya revisi UU TNI maka KASAL belum pensiun.
Para pemohon meminta MK menjatuhkan putusan sela dengan menyatakan menunda pemberlakuan revisi UU TNI, memerintahkan Presiden untuk tidak menerbitkan Perpres dan Peraturan Pemerintah (PP) sampai ada putusan akhir.
Kemudian memerintahkan Presiden dan DPR untuk tidak memutuskan kebijakan dan tindakan strategis mengenai penerapan revisi UU TNI, dan memerintahkan Kementerian/Lembaga/Badan lainnya untuk tidak membikin kebijakan dan/atau tindakan mengenai penerapan revisi UU TNI.
(ryn/isn)
[Gambas:Video CNN]