Kebijakan Air Botol Kecil Disorot, Apindo Bali Usul Pertimbangkan Ulang

Sedang Trending 6 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Gubernur Bali, Wayan Koster menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. Hal tersebut lantas memicu reaksi pelaku upaya dan asosiasi lantaran dinilai bakal memberikan pengaruh negatif bagi negatif bagi industri dan masyarakat.

"Kalau kita lihat tujuan dan maksudnya pelarangan itu memang baik, tetapi nan disayangkan kenapa kudu melarang produksi air minum nan di bawah satu liter. Ini kan sudah sangat mengintervensi alias sudah masuk ke ranah makanan dan minuman," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bali I Nengah Nurlaba dalam keterangannya, Minggu (20/4/2025).

Ia mengatakan SE itu bakal mengganggu keberlangsungan upaya industri-industri air bungkusan nan ada di Bali, baik besar maupun industri kecil. Nurlaba pun berambisi pemerintah provinsi (pemprov) Bali mengkaji ulang kebijakan tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bijaklah untuk mempertimbangkan lagi kebijakannya agar tidak ada pihak-pihak seperti pengusaha UMKM dan juga pedagang-pedagang masyarakat nan nantinya terimbas," ungkap Nurlaba.

Dalam peluncuran aktivitas Bali bersih sampah nan dilakukan pemprov Bali pada Jumat (11/4) lalu, Koster memaparkan komposisi jumlah sampah nan ada di Bali. Ia mengungkapkan jika volume sampah di Bali mencapai 3.436 ton/hari, dimana 60 persen merupakan sampah organik nan bisa diolah.

Sampah rumah tangga lebih dari 6 persen, sampah pasar lebih dari 7 persen dan dari aktivitas perdagangan lebih dari 11 persen dan sampah plastik 17 persen. Pengelolaan sampah nan ada saat ini melalui pola penanganan sekitar 16 persen, langkah pengurangan 18 persen, dibawa ke TPA 43 persen dan dibuang ke sembarang tempat 23 persen.

"Dan ini nan kacau, dibuang ke sembarang tempat di lingkungan, nggak jelas terlarangan itu 23 persen itu nan kudu ditertibkan," kata Koster.

Dalam kesempatan itu, dia juga memaparkan bahwa sampah plastik di Bali telah mencemari pantai. Namun, sampah-sampah tersebut tidak hanya datang dari Bali, tetapi berasal dari luar pulau seperti Jawa Timur, Kalimantan hingga Sulawesi.

Ia pun meminta pemerintah pusat agar membantu memecahkan masalah ini agar ada kerjasama dengan daerah-daerah lain tidak ikut mencemari perairan Bali. Meski demikian, Koster mengungkapkan bahwa pantai tersebut sudah kembali bersih berkah support operasi semut dari Babinsa TNI.

"Tapi nggak bisa terus-terusan minta tolong, jadi kudu mulai mengendalikan diri untuk membuang sampah sembarangan," ujar Koster.

Diketahui publikasi SE nomor 9 tahun 2025 memang merupakan langkah pemprov Bali mengendalikan peredaran sampah. Namun, klausul pelarangan produksi dan pengedaran air minum bungkusan di bawah 1 liter memicu kritik dari beragam kalangan lantaran dapat berakibat pada masyarakat, pariwisata dan berujung pada ekonomi daerah.

Mengutip info Sungai Watch mengenai sampah di Bali dan Banyuwangi, limbah air minum bungkusan botol PET hanya 4,4 persen. Masih lebih banyak bungkusan sachet (5,5 persen), kantong plastik (15,2 persen) dan plastik cerah (16,2 persen). Kecuali bungkusan sachet, semua jenis sampah plastik ini tetap mempunyai nilai ekonomis lantaran bisa di daur ulang.

Sejalan dengan info itu, Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Pris Polly Lengkong mengungkapkan bahwa SE tersebut bukan jalan keluar untuk mengatasi persoalan sampah di Bali. Ia mengungkapkan jika air bungkusan plastik merupakan salah satu komoditas tertinggi dari limbah plastik lantaran selalu menjadi sasaran para pemulung.

"Harusnya jangan keluarkan SE nan membatasi tetapi keluarkan investasi untuk membangun industri daur ulang lantaran itu nan kurang di Bali," tutur Polly.

Sejauh ini, IPI bisa menyerang lebih dari 80 persen sampah plastik di Bali. Pris Polly mengatakan pemprov Bali sebenarnya bisa menangani persoalan sampah nan ada asalkan mau membangun industri daur ulang. Dengan adanya industri tersebut, sambung Polly, limbah plastik nan telah diolah dapat di daur ulang menjadi peralatan lain alias kembali menjadi botol minuman.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan selama ini pemulung di Bali selalu mengekspor hasil olahan limbah plastik nan sudah di press alias digiling ke Jawa. Dia melanjutkan, perihal ini membikin pengolahan dan pengelolaan limbah di Bali tidak melangkah maksimal sehingga tetap menyisakan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

Senada dengan perihal tersebut, Anggota DPD asal Bali Niluh Djelantik menegaskan bahwa pemerintah tidak semestinya mengeluarkan patokan nan mengganggu pendapatan UMKM, pariwisata, aktivitas adat, upacara dan lain-lainnya. Ia meminta pemerintah mengkaji lagi SE tersebut, termasuk berkenaan dengan produksi dan peredaran air bungkusan di bawah 1 liter.

"Tidak semua orang kuat bawa air botolan 1,5 liter. Tetapkan saja air bungkusan botol minimal 650ml dan berikan patokan tegas gimana botol itu kudu dikelola, sudah sangat membantu memerangi sampah plastik," tegasnya.


(akn/ega)

Selengkapnya