ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Kebaya saat ini tetap menjadi busana nan dipakai wanita di beragam momen. Mulai dari aktivitas umum hingga busana sehari-hari. Peralihan kebaya menjadi modern membikin kebaya makin dekat dengan style hidup wanita kini.
Kebaya merupakan busana nan sudah lama dipakai wanita Indonesia. Tercatat pada abad ke-19, para wanita di Jawa sudah menggunakan kebaya. Lambat laun, busana itu pun juga dipakai oleh wanita dari kelas sosial berbeda, termasuk orang-orang Eropa.
Dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (2005) diceritakan, kebaya dipakai orang Eropa agar lebih menyatu dengan penduduk lokal. Mereka menggunakan kebaya original Jawa dengan ragam kain berbeda. Biasanya, mereka memakai kain dengan kualitas tinggi agar menunjukkan kekayaan dan gambaran eksklusif sebagai orang Eropa.
Kebiasaan memakai kebaya terus dilakukan orang wanita lokal dan non-lokal usai pemerintah kolonial menganjurkan penggunaan busana sesuai budaya istiadat tempat nan mereka tinggali pada awal abad ke-20. Dari sini, semakin banyak orang memakai kebaya.
Pada 1940, kebaya nan sudah jadi identitas masyarakat lokal membikin tokoh sentral Indonesia, Soekarno, menjadikan kebaya sebagai busana nasional. Kelak, ketika menjadi presiden, Soekarno secara tidak langsung menjadikan kebaya sebagai busana utama ibu negara. Ini kemudian diikuti oleh para istri-istri pejabat lain di beragam acara.
Foto: Lukisan R.A. Kartini berbareng R.A. Kardinah dan R.A. Roekmini. (Dok. museumkartinirembang)
Fatmawati, misalnya, suka memakai kebaya dengan kerudung untuk mencirikan dia berakidah Islam. Ini memang sesuai dengan rencana Soekarno yang menjadikan kebaya sebagai langkah mempererat keberagaman di Indonesia.
Kebiasaan memakai kebaya terus bersambung di era Presiden Soeharto. Ibu negara, Tien Soeharto, memakai kebaya di setiap acara-acara formal. Terlebih usai pemerintah juga mengeluarkan patokan penggunaan seragam di setiap acara. Tien lantas menggagas para wanita untuk memakai kebaya.
Foto: #SelasaBerkebaya di Kawasan Stasiun Dukuh Atas (detikai.com/Muhammad Sabki)
Dia sendiri biasa menggunakan kebaya dan kain sebagai selendang. Konon, kebayanya juga sarat nilai sejarah lantaran dibuat dari tahun 1930-an. Sayangnya, penggunaan kebaya kala itu juga mengalami perubahan makna.
Kebaya jadi salah satu perangkat ibuisme negara. Julia Suryakusuma dalam Ibuisme Negara (2011) menceritakan, ibuisme negara merupakan bangunan negara terhadap wanita nan hanya melakukan pekerjaan domestik.
Kebaya jadi busana wajib istri-istri pegawai negeri nan kelak dimaknai sebagai kepatuhan perempuan. Kepatuhan ini maksudnya membikin wanita hanya menjalankan pekerjaan domestik, seperti mengurusi rumah, memasak, dan sebagainya. Apalagi, Tien Soeharto nan jadi panutan dan inspirasi juga melakukan perihal sama, sehingga membenarkan kebaya jadi perangkat untuk mencapai bangunan wanita domestik.
Untungnya, perubahan era membikin pemikiran atas penggunaan kebaya turut berubah. Kini, kebaya mulai dimaknai tak hanya sebatas identitas busana nasional, tetapi juga perangkat mencapai perjuangan bagi para perempuan.
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Ada Perang Tarif AS Vs China, Pengusaha Parfum Curhat Ini
Next Article Kebaya Jadi Warisan Budaya UNESCO, Tapi Tak Cuma Milik Indonesia