ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Isu dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kembali mencuat di panggung intermezo tanah air. Kali ini, sorotan tajam mengarah pada Oriental Circus Indonesia. Diketahui Oriental Circus Indonesia saat ini menjadi perhatian publik akibat perlakuan tidak manusiawi terhadap para pekerjanya.
Anggota DPR RI nan juga Ketua Umum DPP Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (GEKRAFS), Kawendra Lukistian, angkat bicara mengenai dugaan tersebut. Dia menegaskan bahwa industri intermezo dan lokasi wisata tidak boleh mengabaikan hak-hak dasar manusia demi keuntungan.
“Tidak ada artinya seni pagelaran di lokasi wisata jika di kembali gemerlap lampu dan tepuk tangan penonton terdapat pelanggaran kewenangan asasi manusia. Kemanusiaan kudu menjadi panglima, termasuk dalam industri hiburan,” tegas Kawendra dikutip Sabtu (18/4/25).
Menurut laporan nan diterima, sejumlah pekerja sirkus diduga mengalami jam kerja berlebihan tanpa kepastian bayaran layak, perlakuan diskriminatif, serta minimnya agunan keselamatan kerja.
Dugaan ini memantik keprihatinan beragam pihak dan mendorong Komnas HAM untuk melakukan investigasi lebih lanjut.
Kawendra juga mengimbau seluruh pengelola intermezo dan lokasi wisata di Indonesia untuk meninjau ulang sistem kerja nan diterapkan dan memastikan bahwa setiap pekerja diperlakukan secara setara dan manusiawi.
“Kita tidak bisa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan demi sebuah tontonan. Industri ini kudu bersih, transparan, dan menjunjung tinggi martabat para pelaku seninya,” tambahnya.
Saat ini Komnas HAM tengah mengumpulkan info serta membuka ruang pelaporan bagi masyarakat nan mempunyai info tambahan mengenai kasus ini. Apabila terbukti, pihak-pihak nan bertanggung jawab bakal diproses sesuai norma nan berlaku.
Pendiri OCI Bantah Tudingan Siksa dan Setrum Pemain
Tudingan penyiksaan nan dialami para mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) ditepis langsung oleh Pendiri Oriental Circus Indonesia (OCI), Tony Sumampau. Dia menegaskan, pihaknya sama sekali tidak melakukan tindakan kekerasan seperti nan dituturkan oleh para mantan pemain sirkus tersebut.
Dia mengakui pada masa itu, training di OCI memang mengedepankan disiplin ketat, di mana hukuman berupa rotan digunakan untuk mengoreksi kesalahan para pemain dalam pelatihan.
"Saya pikir sama dengan kita melatih senam, melatih olah raga, melatih bela diri, apa sama itu? jika kita salah pasti gurunya bakal koreksi dengan keras ya. Karena itu hasilnya mencelakakan diri sendiri, dalam salto alias apa, jika salah kan bahaya. Jadi memang kudu tertib," ujar dia saat ditemui di area Jakarta Selatan, Kamis (17/4/2025).
Disiplin itu kan kudu ada. Seorang atlet kudu begitu, baru dipuji pada saat dia main. Dia kan bangga juga kan ditepok tangan pengunjung," sambung dia.
Dia menerangkan, training sirkus kudu menerapkan disiplin ketat, mirip dengan latihan olahraga lainnya. Dia menegaskan, meskipun terkadang latihan terasa keras, perihal itu dilakukan untuk menjaga keselamatan dan meningkatkan kualitas aktivitas para pemain.
Pernyataan ini diungkapkan setelah beberapa mantan pemain OCI, seperti Fifi Nur Hidayah, mengungkapkan pengalaman pahitnya. Namun, Tony menilai pengakuan tersebut terkesan dilebih-lebihkan.
"Pasak berat, pegang dua tangan aja udah berat, mau ngayun lebih susah. Pakai kayu mini aja mukulnya lebih enak. Jadi itu hanya khayalan aja sih saya pikir," ujar dia.
Mencari Sensasi
Tony juga menanggapi klaim mengenai penyetruman nan disebutkan oleh beberapa mantan pemain OCI sebagai corak hukuman. Dia tegas membantah.
"Saya pikir konteksnya sudah sangat berbeda, jika disetrum nggak mungkin orangnya tetap hidup, jika disetrum sudah out," ucap dia.
Menurutnya, apa nan dikatakan oleh para korban mengenai penyetruman lebih mengarah pada upaya menciptakan sensasi.
"Oh iya pasti lah, ini kan untuk membikin sensasi ya. Kalau sstrum mau pakai setrum apa? jika kita setrum pakai setrum rumah pasti nempel, gimana lepasnya lagi, nan bantu dia juga bakal nempel juga. Jadi ya mungkin sensasi ya," ucap dia.