Kata Pakar: Konspirasi Kartel Pertanahan; Mafia Tanah Mengincar Laut

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta - Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di area pagar laut pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, telah menuai polemik hukum. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 juncto Permen ATR Nomor 18 Tahun 2021, sertifikat semacam ini hanya dapat diterbitkan di wilayah daratan pesisir, bukan di atas perairan laut.

Fakta bahwa ratusan sertifikat telah diterbitkan di kawasan, nan jelas-jelas melanggar ketentuan hukum, menunjukkan adanya pelanggaran prosedur nan serius dalam tata kelola pertanahan. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid–sebagaimana disiarkan pers- menegaskan bahwa sertifikat tersebut, nan dikeluarkan oleh pejabat terdahulu, abnormal secara norma dan batal demi hukum.

Dalam konteks norma manajemen negara, istilah "cacat prosedur" merujuk pada pelanggaran patokan umum dalam proses publikasi sertifikat. Sementara itu, "cacat material" merujuk pada ketidaksesuaian substansi keputusan dengan norma nan berlaku. Dalam kasus ini, kedua jenis abnormal terjadi secara bersamaan.

Prosedur publikasi nan menyimpang dari patokan umum menandakan lemahnya pengawasan administratif. Maka kasus ini mencerminkan tantangan besar dalam tata kelola pertanahan di Indonesia, khususnya dalam menghadapi praktik penyimpangan administratif.

Pelanggaran ini tidak hanya melibatkan pihak internal birokrasi, tetapi juga membuka kesempatan bagi oknum untuk mengambil untung dari kelemahan sistem.

Oleh karenanya kasus publikasi sertifikat di atas laut ini menjadi gambaran dari persoalan mendasar dalam sistem pertanahan nasional.

Tidak hanya soal pelanggaran hukum, kasus ini juga menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem pengawasan dan akuntabilitas birokrasi. Jika dibiarkan tanpa penanganan serius, masalah ini berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan menciptakan preseden jelek dalam tata kelola pertanahan.

Dampak Pembangunan Pagar Laut

Pembangunan pagar laut nan dimulai pada Juli 2024, kemudian menjadi perbincangan publik pada Januari 2025 setelah keluhan dari nelayan, mengungkapkan akibat sosial nan sangat serius. Nelayan nan sebelumnya menggantungkan hidup mereka pada hasil laut, sekarang kehilangan akses ke wilayah tangkap mereka.

Tidak hanya mengganggu mata pencaharian mereka, tetapi juga berpotensi memicu ketegangan sosial di antara masyarakat pesisir. Kehilangan akses terhadap sumber daya nan selama ini menjadi penopang kehidupan mereka, menciptakan ketidakpuasan dan keresahan nan bisa memperburuk hubungan sosial di wilayah pesisir.

Dampak sosial ini semakin diperburuk dengan potensi kerusakan lingkungan nan ditimbulkan oleh pembangunan pagar laut. Ekosistem pesisir, nan merupakan kediaman bagi beragam jenis laut, sekarang terancam akibat perubahan aliran air dan sedimentasi nan terjadi sebagai akibat dari proyek tersebut.

Selain akibat sosial dan lingkungan, proyek pagar laut ini juga menimbulkan ketidakpastian norma nan signifikan, terutama mengenai dengan publikasi sertifikat tanah. Penerbitan sertifikat tanah nan abnormal norma alias apalagi bodong (bermasalah) memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola agraria di Indonesia.

Sertifikat nan tidak sah alias bermasalah dapat menciptakan ketidakjelasan status norma tanah, terutama nan terlibat dalam proyek pembangunan pagar laut. Penerbitan sertifikat bodong semakin memperburuk ketidakpastian ini, lantaran masyarakat tidak lagi merasa kondusif dengan hak-hak mereka atas tanah alias sumber daya alam.

Praktik mafia tanah nan melibatkan publikasi sertifikat bodong, nan tidak sah dan tidak sesuai hukum, karuan saja menciptakan ketegangan nan lebih besar di antara masyarakat dan pemerintah, lantaran perihal ini mengarah pada ketidakadilan nan dapat bersambung menjadi bentrok nan lebih besar.

Ketidakpastian norma nan disebabkan oleh publikasi sertifikat tanah nan abnormal norma alias tiruan dalam proyek pagar laut ini, sangat berbahaya, baik bagi masyarakat nan terlibat langsung maupun bagi masyarakat nan terpinggirkan.

Dari itu manajemen pertanahan tidak dilakukan dengan benar, terutama mengenai dengan pengelolaan tanah pesisir alias area laut, maka dampaknya bukan hanya pada ketidakadilan sosial, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem norma dan tata kelola agraria nan semestinya menjadi agunan kewenangan atas tanah.

Dugaan Praktik Mafia Tanah

Kasus publikasi 263 bagian bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan 17 bagian Sertifikat Hak Milik (SHM) di area laut pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, ini juga mengindikasikan adanya praktik mafia tanah nan terorganisasi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai bahwa tindakan ini adalah hasil dari celah norma nan dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk memperoleh untung secara ilegal.

Mafia tanah, nan sering memanipulasi arsip dan administrasi, beraksi dengan langkah nan merugikan negara dan masyarakat. Dalam kasus ini, masyarakat pesisir, khususnya para nelayan, menjadi korban langsung lantaran kehilangan akses terhadap wilayah nan semestinya mereka gunakan untuk mencari nafkah.

Praktik mafia tanah kerap melibatkan aktor-aktor nan mempunyai kuasa, baik di tingkat lokal maupun nasional. Dalam kasus ini, keterlibatan dua mantan menteri dalam menandatangani surat keputusan nan menjadi dasar publikasi sertifikat di atas laut,semakin memperkuat dugaan adanya penyalahgunaan wewenang.

Keputusan nan melanggar Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 dan Permen ATR Nomor 18 Tahun 2021, ini mencerminkan lemahnya pengawasan dalam sistem agraria. Selain itu, keterlibatan pejabat tinggi menunjukkan bahwa jaringan mafia tanah tidak hanya terbatas pada level bawah, tetapi juga berakar hingga ke tingkat birokrasi pusat.

Kasus dugaan mafia tanah ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah untuk lebih serius dalam membenahi sistem agraria nasional. Tanpa adanya langkah tegas dan reformasi nan menyeluruh, praktik seperti ini bakal terus terjadi dan merugikan masyarakat luas. Mafia tanah bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga persoalan keadilan sosial nan kudu dituntaskan demi menciptakan sistem agraria nan setara dan berkelanjutan.

Estimasi Kerugian Negara

Penerbitan sertifikat abnormal norma untuk 535 hektar tanah di wilayah pesisir tersebut, dengan perkiraan nilai tanah darat disekitar wilayah tersebut dijual oleh beberapa developer di rentang nilai Rp20 juta hingga Rp25 juta per meter persegi, maka berasas kalkulasi sederhana menunjukkan potensi kerugian negara nan mencapai Rp134 triliun. Angka ini menjadi gambaran sungguh besar dugaan korupsi nan melibatkan publikasi sertifikat tersebut.

Jika wilayah ini dikembangkan menjadi area komersial, nilai ekonominya berpotensi meningkat tajam, sehingga kerugian nan ditanggung tidak hanya berupa pendapatan negara nan hilang, tetapi juga kesempatan pembangunan nan terlewatkan. Kerugian nan dihasilkan dari kasus ini tidak hanya berkarakter material tetapi juga sosial.

Masyarakat pesisir, khususnya para nelayan, kehilangan akses terhadap wilayah tangkap nan menjadi sumber penghidupan mereka. Penghilangan kewenangan ini memperdalam ketimpangan sosial dan menakut-nakuti keberlanjutan kehidupan masyarakat lokal. Selain itu, kerugian sosial ini susah dihitung secara angka, tetapi dampaknya terasa langsung pada kesejahteraan masyarakat nan semestinya dilindungi oleh negara. Situasi ini menegaskan perlunya pertimbangan mendalam terhadap kebijakan agraria nan melibatkan masyarakat secara langsung.

Dari perspektif pandang tata kelola ruang, kasus ini berimplikasi pada terganggunya perencanaan wilayah nan semestinya mengutamakan kepentingan publik. Ketidakpastian norma nan menyertai publikasi sertifikat tersebut menciptakan akibat besar bagi penanammodal dan merusak gambaran Indonesia sebagai negara nan dapat dipercaya dalam perihal investasi.

Pada saat nan sama, pembangunan di area pesisir tanpa perencanaan nan tepat berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti degradasi ekosistem laut dan pesisir, nan bakal berakibat jangka panjang bagi ekonomi dan lingkungan. Sehingga dalam konteks norma pidana ekonomi, kerugian sebesar Rp134 triliun ini menjadi argumen kuat untuk dimulainya investigasi menyeluruh guna mendapatkan fakta-fakta empiris dari kasus tersebut.

Investigasi ini kudu memastikan akuntabilitas terhadap semua pihak nan terlibat, mulai dari perseorangan hingga lembaga nan memungkinkan pelanggaran ini terjadi. Penegakan norma nan tegas tidak hanya krusial untuk mengembalikan kepercayaan publik, tetapi juga untuk memberikan pengaruh jera bagi pihak-pihak nan beriktikad melakukan pelanggaran serupa di masa depan.

Peran Ombudsman dan Koordinasi KPK

Dalam konteks persoalan pagar laut nan mengenai dengan praktik mafia tanah, maka keterlibatan Ombudsman dalam mengidentifikasi indikasi adanya praktik korupsi menjadi sangat relevan. Ombudsman, sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, mempunyai peran vital dalam menyelidiki adanya maladministrasi nan merugikan negara dan masyarakat.

Kasus mafia tanah, nan sering melibatkan pemalsuan sertifikat dan penguasaan lahan secara ilegal, juga bisa melibatkan pengelolaan wilayah pesisir nan rawan terjadi pelanggaran. Praktik korupsi nan terjadi dalam manajemen pertanahan, baik di daratan maupun di laut, seringkali mengenai dengan proses publikasi sertifikat nan tidak sesuai patokan –bahkan apalagi pemanfaatan lahan negara nan disalahgunakan untuk kepentingan perusahanan (atau pribadi).

Dari itu Ombudsman kudu bertindak sebagai pihak pertama nan mengungkap masalah, memulai penyelidikan, dan memverifikasi apakah terdapat ketidaksesuaian dalam proses manajemen pertanahan nan melibatkan mafia tanah. Ombudsman mempunyai kapabilitas untuk memeriksa laporan masyarakat nan mengungkapkan ketidakberesan dalam publikasi sertifikat tanah alias kewenangan pengelolaan lahan lainnya, baik nan melibatkan wilayah daratan maupun area pesisir nan menjadi bagian dari masalah pagar laut.

Dengan memanfaatkan laporan dari masyarakat dan temuan langsung, Ombudsman dapat mengidentifikasi potensi tindak pidana nan merugikan negara serta merusak integritas sistem manajemen pertanahan, termasuk dalam pengelolaan tanah di wilayah pesisir nan menjadi bagian dari kebijakan pagar laut.Laporan-laporan ini, nan disertai oleh temuan dari Ombudsman, menjadi bahan nan sangat krusial bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mempercepat proses penyelidikan dan penindakan. Tanpa adanya pengawasan nan tegas, praktik mafia tanah, baik nan melibatkan lahan perumahan maupun area pesisir, bisa tetap berkembang dan merugikan kepentingan publik.

Kerja Sama Ombudsman dan KPK

KPK, nan bekerja menindaklanjuti laporan berasas bukti-bukti nan dikumpulkan oleh Ombudsman, memerlukan info awal nan kuat untuk memulai penyelidikan lebih lanjut. Oleh lantaran itu, kerjasama antara Ombudsman dan KPK sangat krusial untuk memastikan bahwa dugaan mafia tanah, terutama nan mengenai dengan lahan pesisir alias penguasaan terlarangan area laut, dapat terdeteksi dan ditindaklanjuti secara serius.

Kerja sama ini juga memberikan kontribusi pada integritas sistem pengawasan publik nan lebih baik. Sinergi antara kedua lembaga tersebut memberi masyarakat kesempatan untuk lebih terlibat dan memastikan bahwa praktik korupsi dalam manajemen tanah, termasuk nan melibatkan wilayah laut, dapat dilawan dengan tegas.

Dengan adanya saluran pengaduan nan efektif, masyarakat bakal merasa lebih terjamin bahwa kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan lahan dan wilayah pesisir melangkah sesuai dengan hukum, dan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu nan berupaya meraup untung pribadi.

Kolaborasi nan efektif antara Ombudsman dan KPK bakal mempercepat terungkapnya praktik mafia tanah, nan seringkali berakar pada masalah pengelolaan pertanahan nan tidak transparan dan rentan terhadap korupsi. Melalui pengawasan nan lebih ketat dan sinergi antar lembaga pengawas, kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan tanah, termasuk dalam konteks pagar laut, dapat dijalankan dengan lebih transparan, adil, dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Oleh: DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar. (Pengamat Maritim Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC)

Selengkapnya