Kata Pakar: Adaptif Dan Taktis, Prabowo Dan Seni Memimpin Di Era Bising Narasi

Sedang Trending 8 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Kepemimpinan Presiden Prabowo telah mencerminkan kebijakan publik nan sangat tegas, transparan dan demokratis dalam menyikapi setiap aspirasi rakyatnya.

detikai.com, Jakarta - Beberapa waktu terakhir, publik menyaksikan gimana Presiden Prabowo Subianto mengambil keputusan untuk mengoreksi sejumlah kebijakan nan sempat memicu polemik. Mulai dari penolakan terhadap wacana kenaikan PPN, sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, hingga penghentian pemberian izin tambang nikel di Raja Ampat nan dinilai menakut-nakuti ekosistem Papua.

Langkah-langkah korektif ini lantas memunculkan beragam respons. Sebagian menilai Presiden terlalu sering “turun tangan”, apalagi muncul framing nan menyebut beliau sebagai “pahlawan kesiangan”. Namun, narasi semacam ini perlu dilihat dengan bening dan hati-hati.

Sebagai pengamat kebijakan publik, saya justru menilai apa nan dilakukan Presiden merupakan corak kepemimpinan nan adaptif dan taktis, bukan pencitraan alias kekacauan koordinasi. Di tengah kompleksitas persoalan negara nan telah lama mengakar, keberanian seorang kepala negara untuk mendengar aspirasi rakyat dan bertindak sigap justru patut diapresiasi.

Kita kudu mengingat: prinsip dari kebijakan publik adalah mendengarkan. Ketika rakyat bersuara, pemerintah nan datang dan merespons dengan konkret bukanlah tanda kelemahan, tapi cermin dari negara demokratis nan bekerja.

Namun, mari kita juga buka mata terhadap satu perihal penting: framing “pahlawan kesiangan” dan narasi-narasi negatif lain belakangan ini tidak muncul begitu saja. Fakta menunjukkan bahwa sekarang ada aktor-aktor nan terungkap mendalangi disinformasi demi menggiring opini publik.

Kasus terbaru nan mencuat adalah pengakuan dari advokat Wilmar Group, Marcella Santoso, nan secara terbuka menyebut dirinya terlibat dalam penyusunan dan penyebaran rumor negatif terhadap Kejaksaan Agung. Bahkan framing nan dibuat menyasar lebih luas—termasuk menyudutkan pemerintah Presiden Prabowo lewat rumor revisi RUU TNI dan aktivitas “Indonesia Gelap”.

Ini bukan sekadar kritik. Ini adalah bagian dari orkestrasi narasi jahat nan dibiayai oleh pihak-pihak nan merasa kepentingannya terganggu, termasuk para koruptor.

Kita kudu mulai bisa membedakan: mana kritik sehat nan lahir dari kepedulian publik, dan mana nan merupakan kampanye disinformasi sistematis. Pemerintah pun perlu memperkuat ketahanan komunikasi publik—bukan untuk membungkam kritik, tetapi untuk memastikan masyarakat tidak tersesat dalam narasi tiruan nan diproduksi demi menyelamatkan kepentingan sempit.

Selengkapnya