ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Kalangan kampus mendukung penuh dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang (RUU) Penyiaran tahun 2002. Tidak adanya izin nan mengatur (media baru) di luar media penyiaran konvensional (TV dan radio) menjadi penyebabnya.
Kepastian norma ini krusial agar tidak ada kebingungan penindakan ketika ada kasus mengenai info maupun konten dari media (baru) tersebut.
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Program Studi S1 Komunikasi dan Penyiaran Islam dari Institut Madani Nusantara (IMN) Sukabumi, Wida Hartika menyatakan, pihaknya mendukung penuh revisi terhadap UU Penyiaran. Pasalnya, hingga hari ini banyak media digital nan belum tersentuh patokan nan jelas.
"Bagaimana payung norma dan arah kiblatnya (dalam konteks penyiaran) belum jelas. Harus ada batas nan cukup jelas mengenai penggunaan media tersebut (digital). Maka dari itu pedoman diperlukan, patokan mana nan bakal digunakan ketika (pada tayangan media digital) terjadi sebuah kesalahan alias dianggap bertentangan di masyarakat alias kehidupan sosial," kata Wida di depan Komisioner KPI Pusat dalam kunjungannya berbareng puluhan mahasiswa IMN Sukabumi di Kantor KPI Pusat, Senin (28/4/2025).
Bahkan, pernyataan itu juga didukung para mahasiswa nan hadir. Nur Afifah, salah satu mahasiswa dari IMN Sukabumi menyampaikan, revisi ini perlu dilakukan lantaran perkembangan media nan sangat pesat. Menurutnya, izin (penyiaran) nan ada sekarang kudu disesuaikan.
Kendati demikian, Ia meminta agar revisi UU Penyiaran ini tidak tumpang tindih dengan patokan lain nan berpotensi persinggungan kewenangan lintas lembaga. Selain itu, Nur Afifah berambisi revisi UU Penyiaran tidak membatasi kebebasan berekspresi di media digital.
"Revisi itu perlu ya agar tidak tertinggal, tapi tetap pada koridor masing-masing," tegasnya.