ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta Anggota DPR RI Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan, Kaisar Kiasah Kasih Said Putra alias Kaisar KKSP menyoroti beberapa poin perundingan antara tim negosiator RI dan pemerintah AS soal kenaikan tarif resiprokal. Salah satu perihal nan disoroti adalah meningkatkan pembelian gas alam cair (LNG) dan minyak mentah (sweet crude oil).
"Kebijakan ini tampaknya tidak sejalan dengan arah strategi transisi daya nasional nan mendorong pengurangan ketergantungan terhadap daya fosil dan mempercepat pengembangan daya baru dan terbarukan," ujarnya.
"Pertanyaan mendasarnya, apakah kebijakan ini betul-betul strategi jangka panjang nan menguntungkan, alias sekadar corak kompromi dalam negosiasi jual beli nan berisiko secara geopolitik?” imbuh Kaisar.
Bendahara Umum Banteng Muda Indonesia periode 2021-2024 itu pun menyebut, jika kesepakatan tersebut berjalan, akibat fiskal nan didapat tidaklah kecil.
"Jika skema pembelian LNG dan minyak mentah dari AS disusun dalam format perjanjian jangka panjang tanpa elastisitas nan memadai, lonjakan nilai daya dunia bisa berakibat langsung pada APBN, baik melalui beban subsidi maupun tekanan terhadap neraca perdagangan sektor energi," sebut Kaisar.
Akan Bebani Indonesia
Kaisar mengungkapan, jika kesepakatan mengenai pembelian LNG dan sweet crude oil terjadi, bakal membebani pergerakan Indonesia di kancah internasional.
"Menurut info impor AS ke Indonesia nan saya peroleh, per Januari-Maret 2025 kita membeli minyak mentah senilai US$138,9 juta, bahan baku LPG sebesar US$656,4 juta, dan hasil minyak US$659,4 juta, harapannya kesepakatan nan bakal dibuat tidak memberikan akibat nan malah membebani pembelanjaan kita," ungkapnya.
Di sisi lain, dirinya pun mengatakan, jika kesepakatan tersebut hanya berkarakter switching pemasok dari negara-negara Timur Tengah, Afrika, Tiongkok, dan lainnya, nan selama ini menjadi mitra utama pemerintah, pemerintah kudu memastikan tidak ada penambahan kuota impor.
"Sebab, peningkatan volume justru bakal memperparah beban APBN nan saat ini sudah cukup berat," kata Kaisar.
"Oleh lantaran itu, transparansi dalam struktur kontrak, proyeksi harga, serta agunan bahwa kebijakan ini tetap berpijak pada kepentingan nasional jangka panjang menjadi sangat penting," jelasnya.
(*)