ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Ramalan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menunjukkan pelemahan ekonomi bisa terjadi imbas tarif resiprokal nan diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. IMF memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 dari 5,1% menjadi 4,7%.
Pihak istana buka bunyi soal ramalan kurang mengenakkan nan diungkapkan IMF. Menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, lembaga macam IMF memang sah-sah saja memberikan prediksi ekonomi. Namun, dia menegaskan hari ini ekonomi Indonesia justru diliputi optimisme.
Optimisme itu, kata Prasetyo, dibangun berasas data-data nan selama ini sering dijelaskan pemerintah lewat menteri-menteri ekonomi dalam Kabinet Merah Putih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi tidak ada masalah jika ada pandangan dari IMF tapi kita percaya diri, kita percaya dengan kerja sama semua pihak, baik pemerintah, sektor swasta, para teman-teman saudara-saudara kita buruh, para pekerja dan masyarakat mari kita bersama-sama, kita bangun ekonomi kita ke depan dengan penuh optimisme," sebut Prasetyo kepada wartawan, Rabu (30/4/2025).
Dia menyatakan pondasi ekonomi Indonesia cukup kuat, cukup stabil dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi di kisaran 5% nan terjaga. Selain itu, inflasi secara nasional juga terjaga dengan baik, salah satu nan terendah di dunia. Data inflasi terakhir menunjukkan per Maret 2025 inflasi hanya sebesar 1,65% secara bulanan (month to month/mtm) dan 1,03% secara tahunan (year on year/yoy).
"Konsumsi rumah tangga kita juga terjaga, suasana investasi kita juga terjaga terbukti dengan tercapainya sasaran investasi di triwulan pertama," papar Prasetyo.
Di satu sisi secara intensif pemerintah juga terus berupaya untuk menawarkan deretan potensi kerja sama investasi untuk menggenjot perekonomian Indonesia. Pemerintah juga sedang mempelajari kembali izin nan sekiranya memperlambat proses investasi dalam rangka aktivitas deregulasi untuk memberikan kemudahan berusaha.
Prasetyo juga bicara soal tingginya nilai emas nan dianggap sebagai simbol pelemahan makro ekonomi di Indonesia. Menurutnya, ada dua aspek utama meroketnya nilai emas di Indonesia dan perihal itu terjadi bukan lantaran melemahnya ekonomi dalam negeri.
Faktor nan pertama adalah kenaikan nilai emas memang terjadi di seluruh bumi nan dipicu oleh beberapa perihal di antaranya lantaran situasi geopolitik dan geoekonomi. Hal ini membikin permintaan terhadap emas sebagai komoditas safe haven naik secara signifikan dan ini menyebabkan sistem pasar bekerja sehingga nilai emas ikut naik.
Faktor kedua, menurut Prasetyo, masyarakat Indonesia banyak nan menganggap emas adalah instrumen investasi nan kondusif dan stabil. Belum lagi saat ini pergerakan nilai emas condong naik menyebabkan masyarakat kita terdorong juga untuk berinvestasi ke corak emas.
"Apalagi semenjak kita untuk pertama kalinya punya bank emas, bank bullion nan beberapa waktu lampau diresmikan presiden sehingga masyarakat punya kesempatan untuk investasi emas dengan jauh lebih baik dan aman," papar Prasetyo.
Dia menekankan dugaan kenaikan nilai dan permintaan emas menjadi sinyal kekhawatiran kondisi ekonomi, saya kira itu berlebihan.
"Kalaupun ada masukan alias pandangan kami minta kita semua memberikan pandangan konstruktif dan berikan optimisme terhadap kondisi ekonomi kita," sebut Prasetyo.
"Kami sampaikan terima kasih dan rasa penghormatan terhadap pandangan nan bagi kami bagi kita semua kita jadikan sebagai peringatan untuk kita terus waspada di dalam mengelola perekonomian kita dan rumuskan kebijakan kebijakan ekonomi bangsa kita," lanjutnya menutup.
(acd/acd)