ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati telah menghadiri Pertemuan Musim Semi (Spring Meeting) Grup Bank Dunia (World Bank Group) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) nan diselenggarakan pada 21-25 April 2025 di Washington, DC, Amerika Serikat.
Rangkaian Spring Meeting ini dihadiri oleh Menteri Keuangan dan Pembangunan, Gubernur Bank Sentral, Anggota Parlemen, Eksekutif Sektor Swasta, serta Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil dan Akademisi ini
Pertemuan itu membahas beragam rumor nan menjadi tantangan pembangunan global, seperti proyeksi ekonomi dunia, pengentasan kemiskinan, pembangunan ekonomi, perubahan suasana hingga respons terhadap kebijakan tarif resiprokal AS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengawali lawatannya, Sri Mulyani menghadiri agenda IMF Managing Director's Strategic Dialogue with ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors. Ia menyampaikan, Indonesia mempunyai concern nan sama dengan banyak negara mengenai kenaikan tarif impor AS nan berpotensi memberikan akibat signifikan terhadap perdagangan global, pembangunan ekonomi, dan kepercayaan pasar.
Untuk itu, dia menekankan perlunya persatuan dan peningkatan kerjasama regional ASEAN melalui beragam langkah seperti peningkatan integrasi perdagangan regional, percepatan pengembangan rantai pasok, penguatan jaring pengaman finansial regional serta penguatan kerjasama multilateral di tingkat dunia dan regional.
Pada agenda pertemuan Early Warning Exercise (EWE) IMF, Sri Mulyani menyampaikan pandangan mengenai prospek perdagangan dunia tahun 2025 nan semakin sarat dengan tantangan seperti fragmentasi dan proteksionisme nan turut meningkatkan ketidakpastian dan memicu volatilitas pasar keuangan. Ia menyerukan kerja sama multilateral nan memprioritaskan solusi nan saling menguntungkan.
"Transisi globalisasi kudu dirancang dengan jeli untuk menghindari pemutusan hubungan kerja, ekonomi nan terpinggirkan, alias beban utang nan tidak berkelanjutan. Kita kudu menolak paradigma nan tidak menguntungkan dan sebaliknya membentuk sistem nan menghasilkan pertumbuhan nan inklusif, sehingga negara-negara ekonomi berkembang mempunyai bunyi nan berfaedah dan tidak ada negara nan tertinggal," jelas Sri Mulyani dalam keterangannya, dikutip Rabu (30/4/2025).
Sri Mulyani juga menghadiri Pertemuan Tingkat Menteri dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers and Central Bank Governors/FMCBG) G20 nan menjadi salah satu agenda utama dalam rangkaian Spring Meeting.
Pembahasan dalam pertemuan FMCBG tersebut antara lain mengenai dinamika globalisasi saat ini nan dinilai tidak sehat dan tidak berkelanjutan. Kondisi ini mendorong upaya negara tertentu untuk mengurangi defisit perdagangan dan mempertahankan tarifnya.
Sebagai respons, beberapa negara berupaya memperkuat konsumsi domestik dan menegaskan kembali pentingnya menolak praktik proteksionisme.
"Untuk itu, kerja sama internasional untuk memodernisasi patokan perdagangan, memperkuat multilateralisme, dan mereformasi World Trade Organization (WTO) menjadi semakin penting. Selain itu, negara-negara G20 perlu mendorong de-eskalasi ketegangan perdagangan dan menolak perang tarif," lanjut Sri Mulyani.
Terkait arsitektur finansial internasional, kekhawatiran atas tekanan utang negara berkembang mendorong seruan untuk mempercepat proses Common Framework (CF) kesepakatan G20 untuk membantu negara miskin merestrukturisasi utangnya.
Langkah itu juga diharapkan dapat meningkatkan transparansi, memperkuat mobilisasi sumber daya domestik, dan meningkatkan peran Multilateral Development Banks (MDBs) termasuk melalui support prioritas pembiayaan pembangunan bagi negara berkembang.
Dukungan juga diberikan pada penguatan jaring pengaman finansial global, penyediaan pembiayaan perdagangan, dan penemuan seperti Debt-for-Climate Swap, dengan penguatan forum Global Sovereign Debt Roundtable untuk mendorong transparansi dan keberlanjutan pembiayaan dan investasi.
Agenda krusial lain nan dihadiri oleh Sri Mulyani ialah pertemuan International Monetary Fund Committee (IMFC) Breakfast. Pada pertemuan tersebut, Sri Mulyani menyoroti, meski globalisasi telah mendorong kemajuan dalam perdagangan, teknologi, dan pertumbuhan ekonomi, manfaatnya belum dirasakan merata.
Hal ini menimbulkan ketimpangan, kehilangan pekerjaan, dan keresahan sosial di banyak negara. Kondisi itu juga menjadi tantangan politik ke depan ialah gimana mengelola trade-offs nan menjadi tuntutan globalisasi, kedaulatan, local jobs, dan identitas budaya, di tengah meningkatnya ketidakpuasan terhadap biaya integrasi global.
"Oleh lantaran itu, negara-negara perlu memikirkan kembali kerangka kerja sama multilateral agar menghasilkan solusi nan saling menguntungkan, bukan berbasis mentalitas zero-sum," terang Sri Mulyani.
Globalisasi kudu dirancang ulang untuk melindungi mereka nan berisiko tertinggal melalui program training ulang, kebijakan ketenagakerjaan nan adil, dan support terhadap industri rentan, guna menciptakan transisi nan lebih inklusif.
Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa narasi globalisasi kudu diubah untuk menekankan keadilan, kesetaraan, dan kemakmuran berbareng guna membangun organisasi dunia nan lebih kuat, adil, dan berkelanjutan.
Melanjutkan lawatannya, Sri Mulyani juga menghadiri obrolan dengan Chamber of Commerce Amerika Serikat. Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani menyampaikan, Indonesia memandang potensi besar dalam mengembangkan diri menjadi pemain kunci dalam rantai nilai dunia nan berkelanjutan, dan terbuka untuk berkolaborasi dengan beragam pihak, termasuk dari Amerika Serikat.
Kolaborasi nan lebih erat antara Indonesia dan perusahaan-perusahaan AS pada sektor nan mengenai dengan beberapa prioritas utama Indonesia seperti transformasi digital, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat mempunyai potensi kemitraan nan sangat besar.
Sri Mulyani memandang kemitraan nan kuat antara Indonesia dengan organisasi upaya di Amerika Serikat dapat memainkan peran krusial dalam membangun ekonomi dunia nan lebih resilien, adil, dan siap menghadapi tantangan di masa depan.
Masih dalam rangkaian agenda utama IMF-WBG Spring Meetings, Menkeu juga menghadiri pertemuan Development Committee (DC) Lunch. Pada pertemuan tersebut, Sri Mulyani membujuk bumi untuk meninjau kembali hubungan antara globalisasi dan multilateralisme, serta menekankan pentingnya pembuatan lapangan kerja berkualitas.
Meski globalisasi sukses mendorong peningkatan PDB dunia dari US$ 22 triliun pada 1990 menjadi lebih dari US$ 100 triliun pada 2024, serta menciptakan 1,3 miliar lapangan kerja baru, globalisasi juga menimbulkan tantangan seperti ketimpangan pendapatan, kehilangan pekerjaan di sektor-sektor nan rentan, degradasi lingkungan, homogenisasi budaya, dan akibat pandemi.
Tantangan-tantangan tersebut menegaskan perlunya multilateralisme untuk mengelola kompleksitas global. Lembaga multilateral memainkan peran krusial dalam mendorong ketergantungan ekonomi, menjaga keamanan global, membangun keterlibatan inklusif di tengah perubahan kekuatan global, mengatur kemajuan teknologi, dan mengatasi kesenjangan sosial.
Sri Mulyani menyerukan penguatan peran World Bank Group (WBG) dalam membantu negara-negara menciptakan lapangan kerja lokal melalui pengembangan sektor-sektor strategis seperti infrastruktur, energi, agribisnis, kesehatan, dan manufaktur, serta mendorong reformasi internal agar lembaga lebih cepat, efisien, dan berdampak.
Agenda tersebut memerlukan kerja sama erat antara pemerintah, untuk mengatasi halangan investasi dan kebijakan, dan sektor swasta, untuk memastikan investasi nan berpihak pada pembuatan lapangan kerja.
Di sela-sela agenda utama, Sri Mulyani juga berkesempatan menghadiri beberapa pertemuan bilateral antara lain pertemuan dengan President WBG, Ajay Banga; Managing Director of IMF Kristalina Georgieva; President of the European Investment Bank, Nadia Calvino; Ratu Maxima dari Belanda; World Bank Regional Vice President for East Asia and Pacific, Manuela V. Ferro: Managing Director International Finance Cooperation (IFC), Makhtar Diop: Treasury Secretary of The USA, Scott Bessent; dan Menteri Keuangan Jerman, Jorg Kukies.
Dalam obrolan dengan Ajay Banga (Presiden WBG), Sri Mulyani membahas beberapa rumor utama seperti situasi ekonomi terkini, respons dan posisi Indonesia terhadap kebijakan tarif resiprokal AS, serta penguatan kerjasama antara Indonesia dan WBG.
Salah satu poin krusial dalam obrolan tersebut adalah akibat kebijakan perdagangan AS, dimana untuk menyikapi dinamika perekonomian global, Presiden WBG menggarisbawahi pentingnya diversifikasi hubungan dagang, baik di level bilateral maupun regional.
Sementara dalam pertemuan dengan Kristalina Georgieva (IMF), Sri Mulyani membahas rumor mengenai perkembangan kerja sama Indonesia dengan IMF, perkembangan ekonomi dunia dan domestik, rumor suasana dan komitmen global.
Sementara itu, beberapa rumor nan dibahas oleh Menkeu dengan President of European Investment Bank mengenai dengan arah kebijakan pemerintah Indonesia nan baru, seperti transisi daya dan pengembangan daya terbarukan, serta potensi kerja sama antara Indonesia dan EIB di sektor transportasi publik.
Dalam pertemuan dengan Ratu Maxima dari Belanda, Sri Mulyani membahas mengenai program inklusi keuangan, terutama bagi UMKM dan perempuan. Tak hanya itu, Menkeu juga berkesempatan berbincang dengan Manuela Ferro (VP EAP WBG).
Dalam pertemuan tersebut, Sri Mulyani membahas kompleksitas situasi ekonomi global, beragam akibat dan ketidakpastian nan memerlukan pendekatan kebijakan nan lebih pragmatis dan keahlian untuk memandang kesempatan di tengah tantangan, serta kesempatan bagi Indonesia untuk melakukan reformasi struktural nan sangat penting.
Sementara itu, dalam pertemuan dengan Makhtar Diop (MD IFC), Menkeu membahas penguatan kerja sama strategis antara Indonesia dan IFC melalui program pembangunan sektor prioritas nasional di Indonesia.
Sri Mulyani juga menyambut baik support IFC pada program agrikultur dan sanitasi air nan sejalan dengan program prioritas Indonesia. Menkeu juga mendorong kerjasama IFC dengan special mission vehicle BUMN untuk menghadirkan pembiayaan inovatif bagi pembangunan infrastruktur.
Pada pertemuan unik dengan US Treasury Secretary, Scott Bessent, berbareng dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Sri Mulyani berbincang tentang dinamika kebijakan tarif perdagangan AS. Ia menyampaikan bahwa Indonesia, sama seperti negara lain, berpotensi merasakan akibat dari kebijakan ini.
Dia juga berambisi Indonesia dan AS dapat menemukan solusi terbaik untuk mewujudkan kerja sama nan setara dan konstruktif melalui obrolan dan negosiasi. Topik serupa juga dibahas dalam obrolan Sri Mulyani dengan Menkeu Jerman mengenai rumor ekonomi dunia dan kaitannya dengan kebijakan perdagangan dan tarif resiprokal AS.
Bersamaan rangkaian agenda tersebut, dalam Pertemuan Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim Ke-13, Indonesia menekankan pentingnya peran menteri finansial dalam menghadapi tantangan dunia saat ini nan dihadapkan pada trilema antara perubahan suasana nan semakin intens, pertumbuhan ekonomi dunia nan melambat, serta keterbatasan fiskal dalam memenuhi beragam agenda termasuk pembangunan berkepanjangan serta perubahan iklim.
Untuk mengatasi tantangan dunia tersebut, Indonesia menyerukan kepada para menteri finansial di Koalisi untuk terus berupaya melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau dan terlibat aktif dalam beragam forum dunia untuk mengadvokasi ekonomi nan lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Pertemuan tersebut juga menjadi momen penyerahan kepemimpinan Indonesia sebagai co-chair Koalisi kepada Uganda setelah sebelumnya memimpin berbareng Finlandia (2021-2023) dan Belanda (2023-2025).
Indonesia menyambut Matia Kasajia, Menteri Keuangan, Perencanaan, dan Pembangunan Ekonomi Uganda, nan bakal bertindak sebagai co-chair Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim berikutnya untuk memimpin Koalisi berbareng dengan Menteri Keuangan Belanda, Eelco Heinen.
Serangkaian aktivitas Menkeu dalam Spring Meeting tersebut menunjukkan bahwa melalui kerja sama multilateral Indonesia bakal terus berkedudukan aktif dalam forum dunia dengan tujuan untuk membangun kerja sama nan adil, ramah lingkungan, dan inklusif.
Dengan memperkuat multilateralisme, diharapkan bumi dapat mengatasi tantangan dunia bersama-sama dan memastikan tidak ada negara nan tertinggal dalam pembangunan ekonomi nan berkelanjutan.
(ada/kil)