ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Nama Ray Dalio akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Hal ini dikarenakan milarder dan penanammodal kawakan asal Amerika Serikat (AS) itu nan dipanggil Presiden RI Prabowo Subianto untuk berjumpa taipan RI ke Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pada Jumat (7/3/2025).
Prabowo lantas memperkenalkan para taipan besar tersebut kepada Ray Dalio nan telah didapuk sebagai Dewan Pengawas Danantara, Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia nan baru dibentuk. Adapun, para taipan tersebut a.l. Haji Isam, Aguan, Anthony Salim, Boy Thohir, James Riady, Hilmi Panigoro, Franky Oesman Widjaja, Prajogo Pangestu, Tomy Winata, dan Chairul Tanjung.
Sosok Ray Dalio bagi Prabowo Subianto bukan sesuatu nan asing. Sebelumnya, Prabowo juga menjadikan penanammodal AS tersebut sebagai pemateri di aktivitas pembekalan menteri bulan Oktober 2024 lalu. Posisi krusial Ray Dalio di lingkaran kekuasaan Indonesia tak terlepas dari kehebatannya di bumi ekonomi selama puluhan tahun.
Dalio mendirikan Bridgewater Associates dari apartemen dua kamarnya di New York City pada 1975. Saat ini, biaya nan dikelola firma hedge fund terbesar di bumi itu senilai US$112 miliar alias Rp1.825 triliun.
Mengutip Forbes, kekayaan bersihnya mencapai sekitar US$14 miliar alias setara Rp228 triliun. Ia merupakan orang nomor 162 terkaya dunia.
Awal Karir Ray Dalio
Lahir di Queens, New York, pada 8 Agustus 1949, Dalio dibesarkan dalam family kelas menengah. Perjalanan kariernya dimulai dari pekerjaan sambilan hingga minat terhadap pasar finansial tumbuh saat bekerja sebagai caddy. Saat itu dia berjumpa dengan ahli Wall Street seperti George Leib dan istrinya.
Melansir Investing.com, Rabu (28/8/2024), Dalio membeli saham pertamanya pada usia 12 tahun, Northeast Airlines nan nilainya tiga kali lipat setelah merger. Pengalaman ini memicu hasratnya dalam berinvestasi, nan kemudian mengarahkannya untuk bekerja di sebuah firma perdagangan.
Dalio melanjutkan pendidikan di Long Island University untuk meraih gelar sarjana keuangan, dan kemudian memperoleh gelar MBA dari Harvard Business School. Setelah lulus, dia memulai pekerjaan di Wall Street, bekerja di New York Stock Exchange dan Dominick & Dominick LLC.
Ketidakpuasan Dalio terhadap struktur hierarkis di Shearson Hayden Stone memuncak setelah pertengkaran dengan atasannya, nan berujung pada pemecatan. Pada 1975, Dalio mendirikan Bridgewater Associates dari apartemen dua kamarnya di New York City.
Sang Legenda 'Anti Rugi'
Sejak saat itu, Dalio terus konsentrasi untuk mengembangkan Bridgewater Associates. Selama mengembangkan Bridgewater, Ray Dalio sangat memahami dinamika pasar global, khususnya mengenai mata duit dan suku bunga.
Dengan pemahaman tersebut Ray Dalio bisa mempunyai strategi membawa perusahaannya mendulang keuntungan. Salah satunya terjadi saat gejolak pasar saham tahun 1987. Kala itu, Ray Dalio bisa membikin Bridgewater untung besar karena sukses melakukan diversifikasi dan manajemen risiko.
Pemahaman pasar saham, mata uang, suku bunga, dan aspek makro ekonomi lain juga membikin Bridgewater jadi hedge fund paling moncer di dunia.
Pada 2005, Bridgewater Associates sempat dinyatakan sebagai perusahaan hegde fund terbesar nan mencatatkan rekor hanya tiga kali menekan kerugian. Sisanya, selama almanak perdagangan 1991-2005, perusahaan selalu mencatatkan keuangan.
Kondisi ini pun membikin Dalio mendulang untung dan kekayaan nan besar. Mengutip Forbes, kekayaan bersihnya mencapai sekitar US$14 miliar alias setara Rp228 triliun, dan merupakan orang nomor 162 terkaya dunia.
Bisa Memprediksi Kapan Negara Maju & Gagal
Sebagai penanammodal nan mengerti seluk-beluk perekonomian global, Ray Dalio juga menuangkan pendapat dalam buku. Paling terkenal adalah The Changing World Order: Why Nations Succed and Fail (2021) nan berisi gagasannya soal memprediksi negara bisa sukses dan gagal.
Sesuai namanya, kitab tersebut berisi perjalanan negara menuju keberhasilan hingga kegagalan nan bisa memberi pelajaran setiap pemerintah agar tak mengulangi kesalahan serupa. Ray Dalio menyebut suatu negara di seluruh bumi bakal mengalami pertumbuhan dan kemunduran dengan merujuk pada perjalanan Inggris, Belanda, dan China.
Dia menyebut ada lima siklus, ialah kebangkitan, keemasan, puncak, krisis dan terakhir kolaps.
Jika dideskripsikan, maka suatu negara semua hanya negara kecil, lampau perlahan bangkit menjadi negara kuat. Pada titik ini, negara tersebut bakal melakukan pemanfaatan kepada negara lemah nan dibarengi kekacauan situasi dalam negeri, seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, hingga pengangguran.
Lalu, setelah mencapai puncak kekuatan, suatu negara bakal menghadapi kekacauan. Biasanya negara tersebut bakal punya banyak uang, lemahnya mata uang, hingga perpecahan internal nan disebabkan oleh situasi politik.
Dari pola-pola tersebut, Ray Dalio membujuk banyak negara untuk bisa mendeteksi situasi dunia dan dalam negeri guna mengetahui kondisi negara: apakah bisa memperkuat alias menuju kehancuran.
Pada titik ini, dalam bukunya dia menyarankan agar suatu negara melakukan hal-hal sebagai berikut agar terhindari kebangkrutan, antara lain: 1) menjaga keseimbangan antara duit dan pertumbuhan ekonomi, 2) memastikan stabilitas politik dan sosial, 3) menjaga pengelolaan utang, dan 4) tidak mencetak duit secara berlebihan.
Singkatnya, Ray Dalio berdasar bahwa negara ambruk bukan terjadi tiba-tiba. Tapi, sudah ada pola nan bisa dihindari. Bahkan tetap berada di masa keemasan.
(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini: