ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, tidak menghadiri secara langsung sidang awal di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) pada Jumat (15/3).
Sebagai gantinya, dia mengikuti sidang melalui videolink untuk mendengarkan dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan nan ditujukan kepadanya mengenai kampanye perang melawan pengedar narkoba nan menewaskan ribuan orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sidang via online tersebut, pihak Duterte melalui kuasa hukumnya mengarahkan tuduhan bahwa dia telah secara paksa diculik ICC.
Duterte nan sekarang 79 tahun, menjadi mantan kepala negara Asia pertama nan didakwa oleh ICC. Dalam sidang singkat tersebut, dia diinformasikan mengenai kejahatan nan diduga telah dilakukannya serta hak-haknya sebagai terdakwa.
Mengenakan setelan jas biru dan dasi, Duterte tampak lemah saat dia berbincang singkat untuk mengonfirmasi identitasnya. Hakim Ketua Iulia Motoc mengizinkan Duterte mengikuti sidang secara in absentia dengan argumen perjalanan panjang ke Den Haag.
Tuduhan 'penculikan' oleh ICC
Pengacaranya, Salvador Medialdea, mengatakan di persidangan bahwa Duterte telah "diculik dari negaranya."
"Ia secara paksa dipindahkan ke Den Haag. Dalam istilah hukum, ini disebut 'ekstradisi di luar hukum'. Bagi nan kurang memahami hukum, ini adalah penculikan murni," kata Medialdea mengutip AFP.
Dia juga menyebut bahwa Duterte mengalami masalah kesehatan nan melemahkan, sehingga "selain mengidentifikasi dirinya, dia tidak dapat berkontribusi dalam sidang ini."
Selama persidangan, Duterte tampak mengantuk dan beberapa kali menutup mata dalam waktu lama. Namun, Hakim Motoc menegaskan bahwa master pengadilan menilai kondisi mental Duterte tetap baik dan dia layak untuk menjalani persidangan.
Sidang selanjutnya dijadwalkan pada 23 September, di mana pengadilan bakal menentukan apakah dakwaan terhadap Duterte cukup kuat untuk dilanjutkan ke tahap persidangan penuh.
Dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan
Duterte didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dalam kampanyenya melawan pengguna dan pengedar narkoba di Filipina. Organisasi kewenangan asasi manusia menyatakan bahwa kebijakan tersebut telah menyebabkan kematian ribuan orang, terutama dari kalangan miskin, sering kali tanpa bukti nan jelas.
Dalam permohonan penangkapan terhadap Duterte, jaksa ICC menuduh bahwa kejahatan nan dilakukannya merupakan "bagian dari serangan luas dan sistematis terhadap masyarakat sipil di Filipina."
"Kemungkinan puluhan ribu pembunuhan telah terjadi," kata jaksa, merujuk pada kampanye anti-narkoba Duterte nan terkenal brutal.
Banyak family korban menyambut baik persidangan ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan keadilan. Namun, para pendukung Duterte menilai bahwa dia "diculik" dan dikirim ke Den Haag lantaran bentrok politik dengan family Marcos nan saat ini berkuasa.
Di Manila, Jane Lee (42), seorang wanita nan kehilangan suaminya akibat perang narkoba Duterte, mengaku marah memandang mantan presiden itu.
"Ketika saya melihatnya, saya sangat marah hingga nyaris tidak bisa mengendalikan diri," katanya saat menonton siaran langsung sidang ICC.
Bersambung ke laman berikutnya...