ARTICLE AD BOX
Jakarta, CNBC Indonesia - Bangsa Indonesia memeringati tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Raden Ajeng (RA) Kartini, nan lahir pada 21 April 1879, adalah ikon perjuangan emansipasi wanita. Dia adalah wanita Indonesia nan dikenal vokal melawan segala corak penindasan, diskriminasi, dan ketidaksetaraan gender.
Meski di era modern saat ini wanita sudah bisa sekolah dan bekerja, faktanya cita-cita kesetaraan kelamin Kartini masih jauh dari kenyataan.
Mengutip laporan Women, Business, and the Law 2024 yang dirilis oleh Bank Dunia, tidak ada satupun negara di bumi nan memberikan kesempatan setara bagi perempuan, terutama di lingkungan kerja. Menurut laporan tersebut, rata-rata wanita hanya menikmati 64 persen perlindungan norma dibandingkan laki-laki. Sebelumnya, nomor tersebut diperkirakan sebesar 77 persen.
"Meskipun Undang-undang (UU) nan ada menyiratkan bahwa wanita menikmati sekitar dua pertiga kewenangan laki-laki, rata-rata negara baru menetapkan kurang dari 40 persen sistem untuk penerapan sepenuhnya," tulis laporan tersebut.
Ada 98 negara telah memberlakukan UU nan mewajibkan perusahaan memberi bayaran nan sama bagi wanita untuk pekerjaan nan berbobot sama. Namun, hanya 35 negara nan sudah menerapkan langkah-langkah transparansi penghasilan alias sistem penegakan norma untuk mengatasi kesenjangan gaji. Adapun, jumlah tersebut setara dengan kurang dari satu dari lima negara.
Menurut Bank Dunia, penerapan UU kesetaraan kesempatan nan efektif berjuntai pada kerangka pendukung nan memadai, seperti sistem penegakan norma nan kuat, sistem untuk melacak kesenjangan bayaran mengenai gender, dan kesiapan jasa kesehatan bagi wanita nan selamat dari kekerasan.
Peran wanita dalam perekonomian global
Foto: Sejumlah pekerja nan tergabung dalam Serikat Pekerja Perempuan melakukan tindakan unjuk rasa memperingati May Day di area Patung Kuda, Monas, Jakarta, Rabu (1/5/2024). (detikai.com/Faisal Rahman)
Kepala Ekonom Grup Bank Dunia sekaligus Wakil Presiden Senior bagian Ekonomi Pembangunan, Indermit Gill mengatakan bahwa wanita mempunyai kekuatan untuk meningkatkan perekonomian dunia nan terpuruk. Namun, perihal ini susah terwujud lantaran UU dan praktik nan diskriminatif di seluruh negara menghalangi wanita untuk bekerja alias memulai bisnis.
"[Padahal] menutup kesenjangan ini dapat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) dunia sebesar lebih lagi 20 persen namalain menggandakan laju pertumbuhan dunia pada dasawarsa berikutnya," kata Gill.
"Namun, reformasi telah melangkah lambat," imbuhnya.
Ancaman kekerasan seksual
Menurut laporan nan sama, nyaris seluruh negara di bumi menunjukkan keahlian jelek dalam dua kategori, ialah akses terhadap penitipan anak dan keselamatan perempuan.
Skor rata-rata dunia mengenai keselamatan wanita dilaporkan hanya 36. Skor tersebut menandakan bahwa wanita hanya menikmati sepertiga dari perlindungan norma nan dibutuhkan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, pernikahan anak, dan pembunuhan terhadap peremuan.
"Meskipun 151 negara mempunyai undang-undang nan melarang pelecehan seksual di tempat kerja, hanya 39 negara nan mempunyai undang-undang nan melarang pelecehan seksual di ruang publik," tulis laporan Women, Business, and the Law 2024.
"Hal ini seringkali menghalangi wanita untuk menggunakan transportasi umum untuk berangkat kerja," lanjut laporan tersebut.
Selain itu, sebagian besar negara di bumi juga mendapatkan skor jelek dalam UU pengasuhan anak. Perempuan tercatat rata-rata menghabiskan 2,4 jam lebih banyak dalam sehari untuk mengasuh anak dibandingkan laki-laki.
Saat ini, hanya 62 negara dari 190 negara alias kurang dari sepertiga di seluruh bumi nan mempunyai standar kualitas jasa pengasuhan anak. Akibatnya, banyak wanita nan mungkin bakal "berpikir dua kali" untuk tetap bekerja ketika mempunyai anak.
Kesenjangan bayaran berbasis gender
Foto: Puluhan wanita nan tergabung dalam Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), menggelar tindakan unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu, (8/3). (detikai.com/ Muhammad Sabki)
Dalam bagian kewirausahaan, hanya satu dari lima negara nan mewajibkan kriteria sensitif kelamin dalam proses pengadaan peralatan dan jasa pemerintah. Dampaknya, wanita tidak mendapatkan kesempatan ekonomi sebesar US$10 triliun alias sekitar Rp156.330 triliun (asumsi kurs Rp15.633/US$) per tahun.
"Dalam perihal gaji, wanita hanya mendapat 77 sen untuk setiap US$1 nan dibayarkan kepada laki-laki," tulis laporan nan sama.
Tidak hanya mengenai gaji, kesenjangan kewenangan juga meluas hingga masa pensiun. Di 62 negara, usia pensiun laki-laki tidak setara dengan perempuan. Sebab, wanita condong hidup lebih lama dibanding laki-laki, tetapi mereka mendapat "keuntungan" nan lebih mini daripada laki-laki, ialah faedah pensiun nan lebih minim dan ketidakamanan finansial di hari tua.
Adapun, ketidaksetaraan antara usia pensiun dan untung didasari aspek penerimaan penghasilan nan lebih rendah saat bekerja, mengambil libur saat mempunyai anak, dan pensiun lebih awal.
"Saat ini, nyaris separuh wanita berperan-serta dalam angkatan kerja global, dibandingkan dengan nyaris tiga dari setiap empat laki-laki. Ini bukan hanya tidak adil, tapi juga sia-sia," ujar penulis utama laporan Women, Business, and the Law 2024, Tea Trumbic.
"Meningkatkan partisipasi ekonomi wanita adalah kunci untuk memperkuat bunyi mereka dan mengambil keputusan nan berakibat langsung pada mereka. Negara-negara tidak bisa menyisihkan separuh dari populasinya," tutupnya.
(hsy/hsy)
Saksikan video di bawah ini: