Di Balik Tiupan Peluit Dan Senyum Tukang Parkir

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta - Pagi baru saja menyapa Jakarta Selatan. Sinar mentari tetap canggung menembus pepohonan saat seorang laki-laki paruh baya berseragam sederhana telah bersiaga di depan sebuah minimarket area Pejaten.

Namanya Solihin. Usianya 61 tahun. Setiap hari, laki-laki berkaos hitam lusuh itu mengenakan kupluk biru dongker dan tas selempang mini nan tergantung setia di bahunya. Di antara bibirnya, sebuah peluit menggantung, senjata jagoan nan menemaninya mencari nafkah.

Dengan senyum ramah, Solihin menyambut pengendara nan datang. Tangannya lincah mengatur lampau lintas sepeda motor. Barang bawaan dibantu diangkatkan, apalagi behel motor pun tak luput dari sentuhannya.

“Jangan dikunci stang-nya ya,” pintanya lembut kepada salah satu pengunjung.

Bukan perintah. Lebih seperti kebiasaan bertahun-tahun sebagai penjaga kendaraan nan mulai berkawan dengan pola dan kebutuhan pengunjung.

Solihin sadar, tak semua orang menghargai profesinya. Tapi dia tidak ambil pusing.

“Kalau sama saya gak bayar juga gak apa-apa,” ucapnya santuy sembari menghisap rokok saat berbincang, Senin (5/5/2025).

Dalam sehari, Solihin bisa membantu memarkirkan 50 hingga 70 motor. Kadang lebih, kadang kurang. Semua tergantung situasi.

Soal penghasilan, tak ada nomor pasti. “Paling dapat Rp70 ribu sampai Rp100 ribu sehari. Ya cukup-cukupin saja,” tuturnya.

Meski begitu, Solihin bukan tukang parkir liar. Ia bekerja di bawah koordinasi RT setempat, nan bekerja sama dengan minimarket tempatnya berjaga. Ada sistem setoran, ada agenda kerja. Ia bekerja empat hari, lampau bergantian dengan rekannya.

“Kerjanya dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang. Kita setor tiap hari ke orang RT,” jelasnya.

Di mata sebagian orang, dia mungkin hanya tukang parkir. Tapi bagi banyak pengguna minimarket, Solihin adalah sosok nan setia menjaga kendaraan mereka dengan rapi dan aman.

“Kalau gak ngasih juga gak papa. Rezeki mah dari mana saja. Saya tetap bantuin, tetap perhatiin motornya satu-satu,” katanya tenang.

Seorang ahli parkir liar berlindung di dalam bilik mini sebuah toko waralaba nan terletak di area Malaka Jaya, Duren Sawit, Jakarta Timur, untuk menghindari razia petugas Dinas Perhubungan.

Juru Parkir Demi Menyambung Hidup

Di perspektif lain Jakarta Selatan, tepatnya di area Mampang, Erja juga sedang menjalani hari dengan tanggung jawab nan sama. Duduk di bangku kayu di depan sebuah minimarket nan banyak didatangi oleh kaum muda untuk sekedar nongkrong alias membeli kopi, pandangannya hati-hati mengawasi kendaraan nan keluar masuk.

Tak ada peluit di mulutnya. Tapi ada tanggung jawab besar di pundaknya, dua anak mini dan seorang istri nan kudu dia nafkahi.

“Dibilang enggak cukup ya emang enggak cukup. Tapi dicukup-cukupin saja,” katanya datar, namun penuh makna.

Erja baru menjadi tukang parkir sejak Desember 2024. Saat minimarket itu baru dibuka, dia berbareng rekannya mengusulkan semacam proposal untuk bekerja sebagai penjaga parkir. Beruntung, mereka diterima.

Sistem kerjanya bergilir. Erja mendapat jatah pagi hingga sore, dari jam 8 sampai jam 3. Sisanya dipegang rekannya.

"Kalau rame, bisa dapat Rp150 ribu. Tapi kan dibagi dua,” ujarnya.

Seperti Solihin, Erja juga sadar pandangan orang tentang tukang parkir seringkali sinis.

“Ada aja nan marah-marah. Tapi ya kita hadapin pelan-pelan. Kerja ini halal, nan krusial anak istri cukup makan,” katanya.

Ia berambisi masyarakat tak memandang sebelah mata. Dia pun mengaku, seandainya ada pekerjaan lain nan lebih layak, dia tak segan untuk menerimanya.

"Sama-sama cari uang. Kalau ada kerjaan nan lebih baik, tentu mau. Tapi ya belum ada kesempatan,” ujar Erja, jujur.

Antara Membantu, alias Membuat Tidak Nyaman

Namun tak semua orang punya pandangan sehangat itu terhadap tukang parkir. Bagas, salah satu penduduk nan sering ke minimarket, mengaku kerap kesal. “BT banget sih, hanya ambil duit di ATM, eh ditagih tukang parkir,” ujarnya.

Senada, Fadil, penduduk lain, merasa tukang parkir seperti muncul dari semak-semak. “Pas datang gak ada orang. Tapi pas mau keluar, tiba-tiba ada nan bantuin narik motor, langsung minta uang,” katanya kesal.

Pengalaman Fadil apalagi lebih buruk. Ia pernah diteriaki lantaran menolak bayar parkir—padahal jelas-jelas ada tulisan “parkir gratis” di depan minimarket.

“Masalahnya bukan di uangnya. Tapi sikap dan langkah mereka. Kadang maksa, kadang kasar. Saya pernah diteriaki pakai kata-kata kotor,” ungkapnya.

Fadil tak tahu kudu melapor ke siapa. Ia hanya berambisi ada kejelasan dari pemilik minimarket.

“Kalau memang parkir gratis, ya jangan ada tukang parkir. Harus tegas,” pungkasnya

Selengkapnya