Danantara Hapus Tantiem Komisaris Bumn, Apa Dampaknya?

Sedang Trending 2 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) mulai melakukan reformasi kebijakan skema kompensasi, tantiem, insentif, dan penghasilan bagi dewan dan komisaris BUMN. Dalam kebijakan baru ini, komisaris ditetapkan tidak lagi mendapatkan tantiem.

Kebijakan ini dituangkan dalam Surat S-063/DI-BP/VII/2025, penyesuaian tantiem bakal mulai diimplementasikan untuk tahun kitab 2025 bagi seluruh BUMN portofolio di bawah BPI Danantara.

Terkail perihal tersebut, Pengamat BUMN sekaligus Direktur NEXT Indonesia, Herry Gunawan mengatakan langkah tersebut merupakan baik untuk tata kelola BUMN ke depannya. Ia mengatakan biaya nan tadinya untuk insentif dan tantiem tersebut bisa dialihkan untuk mendukung investasi BUMN itu sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Keputusan nan dibuat oleh Danantara itu baik, sehingga motif dapat tantiem bagi Dewan Komisaris bisa dihilangkan. Dananya malah bisa dipake BUMN untuk mendukung investasi perusahaan," katanya saat dihubungi detikaicom, Senin (4/8/2025).

Hanya saja, Herry menilai SE tersebut belum cukup kuat. Hal ini dikarenakan tetap adanya izin dari Kementerian BUMN sebagai regulator nan mengatur pemberian tantiem dan insentif.

Ia menjelaskan, izin tersebut ialah Peraturan Menteri BUMN No. PER-12/MBU/11/2020 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Menteri BUMN No. PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewa Pengawas Badan Usaha Milik Negara. Dalam peraturan tersebut, BUMN tantiem dapat diberikan asal perusahaan tidak semakin rugi.

"Klausul tidak semakin rugi itu, berfaedah BUMN boleh kasih tantiem walaupun perusahaan tetap rugi, namun kerugiannya lebih mini dibandingkan tahun sebelumnya. Ini kan ada buktinya, BUMN rugi tetap bayar tantiem," katanya.

Herry juga menyoroti, inkonsistensi penerapan standar internasional nan dilakukan Danantara. Ia menyebut Danantara hanya mengambil sebagian prinsip tata kelola dari OECD nan menguntungkan, namun mengabaikan aspek krusial ialah kebijakan menghindari conflict of interest dan kepatuhan terhadap hukum.

"Pengabaian terhadap prinsip OECD nan krusial itu, misalnya, dengan memasukkan para pejabat publik termasuk Eselon 1 sebagai komisaris BUMN. Regulator merangkap operator. Ini jelas ada tumbukan kepentingan. Selain itu, standar OECD juga mendorong soal kepatuhan hukum, tapi menempatkan Wamen sebagai komisaris nan jelas-jelas melanggar norma namun dibiarkan," katanya.

Senada, Pengamat BUMN sekaligus Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Toto Pranoto mengatakan, kebijakan komisaris ditetapkan tidak lagi mendapatkan bingkisan tantiem dari untung perusahaan ini bakal menjaga objektivitas majelis komisaris dalam melaksanakan kegunaan pengawasan.

"Dewan komisaris melakukan pengawasan dengan lugas lantaran tidak ada kaitan dengan insentif tantiem," katanya.

Ia menilai bahwa selama ini kegunaan pengawasan majelis komisaris belum optimal. Hal ini dikarenakan mereka berambisi untung bersih nan tinggi dari perusahaan agar mendapatkan tantiem.

Namun demikian, Toto juga mengingatkan potensi pengaruh negatif nan ditimbulkan dari kebijakan tersebut, ialah berkurangnya minat talenta terbaik untuk duduk sebagai komisaris. Solusinya, kata Toto, bisa dengan meningkatkan penghasilan alias honor tetap majelis komisaris, namun disertai peningkatan beban kerja dan akuntabilitas nan sesuai.

"Sebagai imbangannya maka Key Perfomance Indikator (KPI) Monitoring keahlian majelis komisaris ditingkatkan. Misal majelis komisaris bukan lagi sasaran normatif/rutin , tapi lebih difokuskan pada pengawasan substantif mengenai corporate actions nan dikerjakan BUMN," katanya.

(acd/acd)

Selengkapnya