ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Relawan SAR Abdul Haris Agam alias Agam Rinjani yang mengevakuasi jenazah pendaki wanita asal Brasil Juliana Marins, membagikan kisahnya dalam menjaga keselamatan pendaki di Gunung Rinjani. Sosoknya menjadi saksi hidup dari beragam insiden, pemindahan ekstrem, hingga sistem dalam manajemen pendakian.
Agam bukanlah nama baru di kalangan relawan maupun guide dalam misi pemindahan korban di Rinjani. Ia mengaku kerap turun langsung ke tebing hanya dengan peralatan seadanya.
Di tengah semua keterbatasan, Agam membentuk Rinjani Squad, sebuah golongan sukarelawan nan terdiri dari masyarakat pecinta alam, porter, guide, apalagi dokter. Misi mereka bukan hanya untuk evakuasi, tapi juga menjaga kebersihan dan akomodasi dasar pendakian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu nan kami jaga toilet di atas. Toilet mau secanggih bagaimanapun jika tidak ada nan jaga, jorok. Tapi dengan adanya Rinjani Squad, orang lenyap buang air, dia nan pergi sikat. Bersihkan. Itu tidak dibayar, mereka semua sukarelawan melakukan itu," ucap Agam, Sabtu (28/6) dalam obrolan nan disiarkan YouTube Consina TV.
Untuk membiayai logistik tim, mereka memberlakukan toilet dan charging station berbayar. Ia menyebut sejak adanya Rinjani Squad, kebersihan di jalur pendakian membaik drastis.
"Itu bukan buat apa-apa, buat ditabung dibelikan logistik. Untung-untung ada orang nan mau datang ke sana hanya digaji makan, tidak dengan uang," ujarnya.
Jauh sebelum kasus Juliana Marins, Agam dan rekan-rekannya sudah merancang buahpikiran shelter emergency di titik-titik tertentu di jalur pendakian. Shelter ini semestinya menjadi tempat standby alat-alat rescue.
"Cuma ada lagi perihal lain di Rinjani. Orang-orang di sana rasa kepemilikannya tinggi. Jadi dimiliki alat-alat ini. Itu juga nan jadi kendala. Jadi bukan sekadar rescue, banyak aspek di lingkar Rinjani," lanjutnya.
Shelter darurat nan mereka bangun pun pernah diisi hingga 35 orang saat hujan deras, meskipun kapasitasnya hanya 4x3 meter. Ketika pemindahan kudu dilakukan, mereka terpaksa memilih untuk memprioritaskan kondisi pendaki.
"Siapa-siapa sudah mau mati, nan belum terlalu mau meninggal keluar dulu, Anda kasih masuk."
Agam nan sudah dikenal luas dalam mengevakuasi korban di Rinjani menilai kecepatan adalah segalanya. Ia apalagi menyarankan penggunaan helikopter sebagai opsi tercepat dan multifungsi. Selain itu, Agam juga menyinggung operator pendakian nan tidak menjelaskan teknis pendakian secara perincian kepada para pendaki, juga para pendaki asing nan datang tanpa persiapan memadai.
"Kalau naik itu pakai celana pendek, pakai baju tanktop. Itu dia kira tidak dingin," katanya.
"Makanya saya jika mau camp paling malas di camp satu, lantaran pasti tergoyah ini hati untuk menolong, dan di situ paling banyak kasus," tambahnya.
Agam menyebut dirinya pernah tinggal di waduk Rinjani selama dua minggu tanpa pulang untuk menguji ketahanan diri. Pengalaman itu membuatnya merasa bersalah jika tidak terlibat dalam pencarian orang hilang.
"Bukan berfaedah saya hafal semua jalur di Rinjani, paling tidak, ada pengetahuan tentang itu di mana dia bisa hilang, tenagaku terpakai untuk menyelamatkan orang nan lagi susah," katanya.
Hampir setiap hari, Agam mengevakuasi pendaki nan kelelahan alias kehausan.
"Kasih dia minum semua orang-orang, bagi-bagi ku bawa sampai empat botol ke puncak. Rata-rata pendaki hanya bawa botol kecil, baru sampai lenyap airnya," tambahnya.
Kadang, dia mengaku kudu memakai duit pribadi untuk kebutuhan evakuasi.
"Contoh butuh genset, mau dibawa kudu minta duit sama Taman Nasional. Itu (beli sendiri) lebih cepat, lebih efektif selesai evakuasi. Perhitungan kita berapa kemarin genset dibawa, ini itu duit dari mana? Dari Rinjani juga, dari hasil-hasil kami kerja tamu kami sisip nabung," akunya.
Dalam satu minggu, Agam menyebut ada enam kasus kecelakaan nan terjadi di Gunung Rinjani. Ia memaparkan, mulai dari pendaki asal Malaysia nan jatuh di pos 2, pendaki asal Irlandia, hingga korban lain nan ditemukan berturut-turut di titik-titik berbeda.
Agam mengaku, dia tidak selalu mengekspos kasus-kasus pemindahan nan dia lakukan demi keberlangsungan penduduk lokal nan mempunyai mata pencaharian di sana.
"Artinya banyak kasus. Ada apa ini? Kenapa bisa terjadi? Itu sengaja juga kami silent, jangan dipublish. Karena jika dipublish, iba juga teman-teman nan bekerja, di mana mereka kudu mendapatkan penghasilan ketika Rinjani dianggap gunung nan bagus tapi berbahaya," kata Agam.
Ia juga menyebut bahwa info nan beredar di media sosial seringkali simpang siur.
"Kalau info di Rinjani nan sering simpang siur, banyak sekali kasus saya evakuasi, beritanya lain di media sosial," ujarnya.
Ia mencontohkan kasus pendaki asal Irlandia nan jatuh dan sukses dievakuasi dalam waktu 3 menit 48 detik. Namun, info nan beredar menyebut bahwa pendaki tersebut merokok sebelum jatuh.
"Padahal nan minta rokok itu kejadian di bawah, di pos dua," jelasnya.
Menurut Agam, krusial adanya perubahan besar-besaran dalam sistem dan tata kelola pendakian. Ia berambisi kejadian-kejadian ini menjadi momentum untuk memperbaiki manajemen keselamatan di gunung-gunung. Ia juga menyebut pentingnya peningkatan kapabilitas porter dan guide agar bisa berfaedah sebagai potensi SAR.
Agam pun memberikan sejumlah tips krusial bagi para pendaki untuk mempersiapkan diri sebelum memutuskan untuk naik ke gunung, mulai dari pakaian, persiapan makanan, hingga operator gunung.
"Kalau ke puncak, harusnya kita sudah bisa hitung kekuatan diri. nan suka banyak minum, bawa banyak air. nan sudah tidak terlalu banyak minum minimal 1 liter separuh bawa air ke atas. Bawa windpro jaket, jas hujan, blanket, makanan cadangan, headlamp, hindari headlamp charge abal-abal. Pilih operator nan lumayan bagus bisa lihat di Google juga itu," katanya.
(kay/isn)
[Gambas:Video CNN]