ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) segera mendapatkan dua pesaing baru. Antara lain, unit upaya syariah (UUS) milik PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) nan sedang bersiap untuk melepas diri (spin off) menjadi bank umum syariah (BUS).
Keduanya sama-sama membidik total aset dapat tembus menjadi Rp100 triliun dalam 3 hingga 5 tahun ke depan. Adapun saat ini CIMB Niaga Syariah dan BTN Syariah masing-masing mempunyai total aset sebesar Rp64,77 triliun dan Rp61,2 triliun.
Sementara itu, BSI nan merupakan bank syariah terbesar di Indonesia, saat ini mempunyai total aset sekitar Rp401 triliun.
Lantas, apakah kedua calon BUS baru itu bisa untuk mengejar kekuasaan BSI di industri perbankan syariah?
Menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Irfan Syauqi Beik, jika mau mendekati total aset BSI nan lebih besar tiga kali lipat, CIMB Niaga Syariah dan BTN Syariah perlu menjajaki segmen-segmen nan belum tergarap oleh industri perbankan syariah. Selain itu, melakukan penetrasi teknologi nan bisa memberikan jasa nan dibutuhkan oleh masyarakat secara efisien dan efektif.
CIMB Syariah dan BTN Syariah, kata Irfan, juga kudu lebih berani masuk ke sejumlah sektor strategis dalam perekonomian, dan mendorong penemuan produk dan jasa nan relevan.
"Misalnya masuk ke sektor clean and renewable energy, ekonomi digital dan ketahanan pangan. Disamping memperkuat sektor properti dan perumahan nan selama ini jadi kelebihan BTN Syariah," ujar Irfan saat dihubungi detikai.com belum lama ini.
Mengingatkan saja, BTN pekan lampau telah resmi mengakuisisi PT Bank Victoria Syariah (BVS) untuk menjadi perusahaan cangkang dalam proses spin off BTN Syariah. Direktur Utama BTN, Nixon L.P. Napitupulu mengatakan BTN Syariah bakal masuk ke segmen ritel, konsumer, konformis, dan konservatif.
"Kita bakal konsentrasi di perumahan tetap, dan mengantar program pemerintah juga bisa penetrasi di daerah-daerah dengan janji syariah. Selain kebutuhan-kebutuhan perbankan syariah, dari sisi perbankan, katakanlah pendanaan, transaksi, dan lain sebagainya," ujar Nixon dalam sambutannya di Penandatanganan Akta Jual Beli dan Pengambilalihan saham BVS di Menara BTN, Kamis (5/6/2025).
Adapun nilai akuisisi BVS sebesar Rp1,5 triliun. BTN Syariah juga berencana melakukan rights issue senilai Rp1 triliun, sebelum sasaran spin off tersebut rampung, ialah antara Oktober dan November nanti.
Ditambah dengan modal awal BTN Syariah sekitar Rp3,5 triliun hingga Rp4 triliun, diperkirakan saat spin off kelak bakal mencapai sekitar Rp6 triliun. Nixon mengatakan nomor itu untuk memenuhi ketentuan KBMI 2 dan rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) sebesar 18% hingga 19%.
Namun demikian, Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai akuisisi BVS oleh BTN tidak optimal. Menurutnya, agenda terbesar industri perbankan syariah nasional saat ini ada dua, ialah meningkatkan market share industri nan hingga sekarang tetap sangat rendah, di kisaran 7,7% per akhir 2024. Kedua, membangun suasana upaya persaingan industri nan lebih sehat, dimana industri sekarang sangat didominasi satu pemain ialah BSI, dengan pangsa hingga 40%.
Yusuf memandang penggabungan BTN Syariah dan BVS tidak bakal menambah market share industri perbankan syariah nasional.
"Karena keduanya adalah bank syariah, maka menggabungkan keduanya tidak bakal memberi akibat sama sekali pada market share industri. Market share perbankan syariah nan hingga sekarang baru di kisaran 7,7%, dipastikan tidak bakal banyak berubah pasca spin-off BTN Syariah," kata Yusuf saat dihubungi detikai.com belum lama ini.
Selain itu, dia menyebut penggabungan total aset BTN Syariah dan BVS tidak bakal bisa melahirkan bank syariah nan cukup besar untuk menjadi pesaing BSI. Yusuf berpendapat, dalam skenario ideal, BTN semestinya mengakuisisi bank konvensional dengan ukuran aset nan cukup besar.
"Maka akuisisi Bank Victoria Syariah oleh BTN ini menjadi berita jelek bagi industri perbankan syariah nasional. Pasca spin-off BTN Syariah ini kita tidak bakal memandang lahirnya pesaing BSI, sekaligus stagnasi market share industri perbankan syariah," ungkap Yusuf.
Ia mengatakan spin off CIMB Niaga Syariah juga susah untuk tidak mengalami pola nan sama. Hal itu lantaran POJK No. 12/2023 mengatur bahwa UUS wajib spin-off ketika asetnya telah mencapai 50 persen dari aset induk alias minimal aset mencapai Rp 50 triliun. Maka, CIMB Niaga Syariah dan BTN Syariah mau tidak mau wajib untuk melakukan spin off.
"Kita menyayangkan pemerintah dan OJK nan condong tidak memberi pengarahan dalam proses spin-off BTN Syariah ini. Jika spin-off diserahkan sepenuhnya ke industri, maka pelaku pasar bakal condong memilih opsi nan paling efisien, mudah dan sigap dilakukan, antara lain mengakuisisi bank nan sudah mempunyai rekam jejak dalam industri perbankan syariah, seperti BTN nan mengakuisisi Bank Victoria Syariah," jelas Yusuf.
Sebagai informasi, proses spin off CIMB Niaga Syariah ditargetkan rampung pada Mei 2026 nanti. Dalam pelaksanaannya, CIMB Niaga dan CIMB Niaga Syariah bakal membentuk golongan upaya bank (KUB) guna memenuhi ketentuan wajib modal minimum sebesar Rp1 triliun. Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan pihaknya juga terbuka untuk mengakuisisi bank syariah lain dalam pembentukan KUB tersebut.
Ia mengatakan bahwa CIMB Niaga Syariah nantinya bakal lebih konsentrasi pada upaya segmen retail dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Ketika ditanya mengenai rencana pengembangan bullion bank alias jasa upaya emas, Lani mengungkapkan belum ada. Ia mengatakan CIMB Niaga Syariah bakal tetap mengembangkan upaya emasnya di dalam bank itu.
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: 2 Tahun Siapkan Spin-Off, CIMB Niaga Incar Aset Rp 100 Triliun
Next Article Update Spin Off BTN Syariah, Paling Cepat Rampung April 2025