ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Mendengar nama Gong of four di Indonesia tampak terdengar asing. Ternyata, istilah itu adalah bagi sekelompok empat pengusaha nan sukses menciptakan konglomerasi upaya di Tanah Air.
Adapun golongan itu dimotori oleh empat pengusaha ternama ialah Sudono Salim (Liem Sioe Liong), Djuhar Sutanto (Liem Oen Kian), Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono. Gang of Four apalagi kerap disebut kemitraan nan cukup sukses hingga sukses menciptakan perusahaan besar nan saat ini menguasai perekonomian Tanah Air.
'Gang of Four' bermulai dari pertemuan empat orang, ialah Sudono Salim, Sudwikatmono, Ibrahim Risjad, dan Djuhar Sutanto sekitar 1968. Sebelum bertemu, keempatnya tidak mengenal satu sama lain dan sibuk dengan urusan masing-masing. Salim dan Djuhar sibuk berdagang. Sementara Sudwikatmono alias Dwi dan Risjad menjalani pekerjaan sebagai tenaga kerja perusahaan biasa. Mereka berjumpa satu sama lain tanpa disengaja.
Pertemuan Salim & Sudwikatmono
Cerita bermulai dari pertemuan Salim dan Sudwikatmono. Sejak tahun 1960, Salim sudah dikenal sebagai pengusaha ulung. Bisnisnya bergerak di sektor manufaktur dan ekspor-impor. Sekali waktu di tahun 1963, Salim nan memang dekat dengan Soeharto, dipanggil ke kediaman Jenderal itu di Menteng. Kebetulan, Dwi sedang piket menjaga rumah Soeharto nan kebetulan tetap sepupunya.
Dwi, sebagaimana dipaparkan Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong's Salim Group (2014), memandang Salim berbincang dengan saudaranya itu selama satu jam. Saat hendak pulang, Salim tiba-tiba meminta Dwi datang ke kantornya di Jl. Asemka besok hari.
"Keesokan harinya, saya berjumpa dengan Om Liem. Dia meminta saya untuk berasosiasi dalam bisnisnya lantaran Pak Harto telah mengusulkan nama saya. Saya ditawari penghasilan bulanan Rp. 1 juta dan saham di perusahaan," tutur Dwi kepada Richard Borsuk dan Nancy Chng.
Dwi terkejut. Dia jelas bak tertimpa durian runtuh lantaran tidak pernah mendapat duit sebanyak itu. Sebelumnya, dia hanya pegawai biasa dengan penghasilan Rp. 400 rupiah. Jelas, dia menerimanya. Belakangan, Pak Harto memaparkan jika argumen penunjukan itu lantaran Salim belum jadi orang Indonesia. Akibatnya, dia susah mendapat pinjaman. Maka, untuk mengatasi ini Soeharto menunjuk Dwi sebagai jaminan.
Dwi tak bisa menolak. Alhasil, dia menerima permintaan dan masuk ke dalam perusahaan milik yayasan Soeharto, PT. Hanurata, dalam corak saham 10%. Sejak saat itu, hubungan Salim-Dwi semakin erat.
Tercipta 'Gang of Four'
Pada tahun 1966, ada perusahaan berjulukan Kongsi Bintang Lima nan dekat dengan militer. Karena bergesekan dengan militer, maka sudah pasti Soeharto terlibat. Singkat cerita, Bintang Lima mengalami pecah kongsi. Seorang taipan berjulukan Djuhar Sutanto nan mempunyai peran krusial di perusahaan diperkenalkan ke Salim oleh Soeharto. Keduanya cocok dan mempunyai pandangan sama dalam bisnis.
Dua tahun kemudian, Salim dan Dwi berjumpa dengan Djuhar. Kemudian, Djuhar dan Liem mengambil alih CV Waringin dan mengubahnya menjadi Perseroan Terbatas. Saat itu, kedua taipan itu belum jadi penduduk negara Indonesia. Jadi, untuk urusan administrasi, keduanya menggunakan nama Sudwikatmono dan pegawai Waringin, berjulukan Ibrahim Risjad. Dari sinilah awal mula 'Gang of Four' terbentuk. Kegiatan utama Waringin adalah perdagangan kopi dan produk primer serta memproduksi karet remah di Sumatera
Ketika Liem dan Djuhar sudah menjadi WNI dan Soeharto resmi jadi presiden, bisnisnya semakin tancap gas. Mulanya mereka berbisnis tepung melalui PT. Bogasari. Lalu, keempatnya kemudian tergabung dalam Salim Group dan menduduki kedudukan penting. Mereka terlibat dalam pendirian Indocement, Indomilk, Indofood, Indomobil, dan Indomaret. Sektor-sektor upaya di perusahaan ini kemudian menguasai pasar Indonesia. Karena dibekingi Soeharto, bisnisnya pun semakin jaya. Masing-masing dari mereka pun kemudian mendirikan gurita bisnisnya tersendiri, tanpa melupakan upaya intinya di Salim Group.
(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini: