ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar membeberkan bentuk dukungan pihaknya untuk merealisasikan programme pembangunan 3 juta rumah yang menjadi target Presiden Prabowo Subianto. Program itu dinilai penting untuk meningkatkan pertumbuhan di sektor konstruksi dan ekonomi.
Mahendra mengatakan pihaknya telah berkirim surat kepada perbankan dan lembaga jasa keuangan (LJK) lainnya untuk mendukung perluasan pembiayaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam hal ini lembaga jasa keuangan diberikan ruang untuk mengambil kebijakan pemberian kredit dan pembiayaan berdasarkan penerapan manajemen risiko yang sesuai dengan pertimbangan bisnis.
"Kami telah menyampaikan surat kepada perbankan, perusahaan pembiayaan, juga BP Tapera dan PT SMF untuk mendukung perluasan pembiayaan rumah bagi MBR. Di awal tahun ini kami melakukan prudential gathering dengan para direksi dan komisaris perbankan yang antara lain membahas dan mendalami dukungan perbankan bagi pelaksanaan program-program prioritas pemerintah," kata Mahendra dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (14/1/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berkaitan dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), Mahendra menegaskan bahwa itu bukan sebagai faktor utama dalam pemberian kredit. Artinya, masyarakat yang memiliki catatan kredit tidak lancar dalam SLIK masih bisa mendapatkan fasilitas kredit.
Mahendra menyebut penggunaan SLIK dalam proses pemberian kredit atau pembiayaan perumahan merupakan salah satu informasi yang digunakan dalam analisis kelayakan calon debitur dan bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan dalam pemberian kredit dan pembiayaan itu.
"Dalam kaitan itu tidak terdapat ketentuan OJK, sekali lagi tidak terdapat ketentuan OJK yang melarang pemberian kredit atau pembiayaan untuk debitur yang memiliki kredit dengan kualitas non lancar, termasuk apabila akan dilakukan penggabungan fasilitas kredit atau pembiayaan lain khususnya untuk kredit dan pembiayaan dengan nominal kecil," tegas Mahendra.
Dukungan lainnya yang diberikan adalah penetapan kualitas aset produktif untuk debitur dengan plafon hingga Rp 5 miliar dapat dilakukan hanya didasarkan ketepatan pembayaran pokok atau bunga yang dikenal dengan istilah 1 pilar saja. Aturan ini mempermudah slope dalam menyalurkan kredit perumahan khususnya bagi MBR.
"Ini pemanfaatan dari peraturan OJK Nomor 40 Tahun 2019, maka pemberian untuk debitur sampai Rp 5 miliar dapat hanya menggunakan satu pilar saja," tuturnya.
Selain itu, OJK telah mengatur bobot risiko kredit yang lebih granular melalui SEOJK No.24/SEOJK.03/2021. Semakin rendah rasio Loan To Value (LTV), maka bobot Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) kredit juga lebih kecil sehingga membantu perbankan lebih efisien dalam menyalurkan kredit properti.
"Kredit untuk properti rumah tinggal dapat dikenakan bobot risiko ATMR kredit yang rendah dibandingkan kredit lainnya, antara lain kredit kepada korporasi. Dalam ketentuan itu, bobot risiko ditetapkan secara granular dengan bobot rendah sebesar 20% berdasarkan indebtedness to value. Dengan begitu perbankan memiliki ruang permodalan yang lebih besar untuk menyalurkan KPR selanjutnya," jelas Mahendra.
Untuk mendukung sisi pendanaan kepada pengembang perumahan, OJK juga telah mencabut larangan pemberian kredit pengadaan pengolahan tanah sejak 1 Januari 2023. Pengembang perumahan diberikan keleluasaan untuk memperoleh pembiayaan dari perbankan guna melakukan pengadaan atau pengolahan tanah yang sebelumnya dilarang.
"Dengan berbagai dukungan kebijakan itu, maka kami optimis programme pemerintah untuk menyediakan 3 juta hunian bagi masyarakat pendapatan rendah dapat terlaksana dengan baik," tutup Mahendra.
(aid/kil)