Bambang Pacul Pdip Kritisi Fadli Zon: Jangan Sok Benar Sendiri

Sedang Trending 7 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Bambang Wuryanto namalain Bambang Pacul angkat bicara proyek penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud).

Dia menyebut sekarang penulisan ulang sejarah penuh dengan subjektivitas.

"Ini soal penulisan sejarah, soal penulisan sejarah, ini kan subjektivitas pasti ikut campur, 100% ikut kombinasi subjektivitas, kan begitu," kata Bambang Pacul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (16/6/2025).

Oleh lantaran itu, Pacul menyebut tak hanya pemerintah, maka PDIP juga bisa menulis sejarah sendiri.

"Jadi siapapun nan bakal menulis pasti bakal ada kontranya. Terhadap penulisan sejarah ini gimana Pak Pacul? nan diinisiasi oleh Pak Menteri Kebudayaan, Fadli Zon ini gimana sikap PDI Perjuangan? PDI perjuangan juga bakal menulis sejarah," tegasnya.

Terkait pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon nan menyebut pemerkosan massal terhadap etnis China pada Mei 1998 tidak terbukti, Pacul meminta Fadli Zon membaca pernyataan Presiden ke-3 RI BJ Habibie.

Ia menyebut sejarah jenis Fadli tentu dapat ditabrakkan dengan kebenaran nan lebih akurat. 

 "Bahwa subjektivitas Pak Pak Fadli Zon mau mengambil langkah nan berbeda, ya dipersilahkan, kelak kan ditabrakkan dengan ayat fakta, kita kan susah hari ini jika kita hanya ngotot-ngototan tok, kan gitu loh," kata dia.

"Jadi jangan sok betul sendiri," sambungnya. 

Fadli Zon Jawab Soal Perkosaan Massal pada Kerusuhan 13-14 Mei 1998

Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menyampaikan apresiasi kepada publik nan semakin menunjukkan kepedulian terhadap sejarah, termasuk masa transisi reformasi pada Mei 1998. Ia menilai, peristiwa kerusuhan 13–14 Mei 1998 tetap menyisakan beragam perdebatan dan perspektif pandang, salah satunya mengenai isu perkosaan massal yang hingga sekarang belum mempunyai injakan kebenaran nan kuat.

Demikian pula, kata Fadli, laporan TGPF ketika itu hanya menyebut nomor tanpa info pendukung nan solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian alias pelaku. Karena itu, Fadli menekankan pentingnya kehati-hatian dan ketelitian dalam menyikapi isu-isu tersebut, mengingat perihal itu menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras beragam corak perundungan dan kekerasan seksual pada wanita nan terjadi pada masa lampau dan apalagi tetap terjadi hingga kini. Apa nan saya sampaikan tidak menegasikan beragam kerugian alias pun menihilkan penderitaan korban nan terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998.” ungkap Fadli Zon dalam keterangan diterima, Senin (16/6/2025).

Bukan Menyangkal

“Sebaliknya, segala corak kekerasan dan perundungan seksual terhadap wanita adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan kudu menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan.” tegas Fadli.

Pernyataan Fadli dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal,” nan dapat mempunyai implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan memerlukan verifikasi berbasis kebenaran nan kuat.

Pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta norma dan bukti nan telah diuji secara akademik dan legal.

Berpegang Pada Bukti

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti nan teruji secara norma dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut nomor dan istilah nan tetap problematik,” imbuhnya.

Istilah ‘massal’, menurutnya juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut kudu dikelola dengan bijak dan empatik. “Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun mengenai ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian lantaran info peristiwa itu tak pernah konklusif.” ucap dia.

Menanggapi kekhawatiran mengenai penghilangan narasi wanita dalam kitab Sejarah Indonesia, Fadli menyampaikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Justru sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan kitab ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi wanita dalam sejarah perjuangan bangsa.

Selengkapnya