ARTICLE AD BOX
ANALISIS
detikai.com
Rabu, 07 Mei 2025 07:36 WIB

Jakarta, detikai.com --
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memutuskan mengirim siswa bandel masuk barak militer. Puluhan anak dari sejumlah sekolah bakal menjalani pendidikan ala militer selama beberapa bulan ke depan.
Program Demul memberikan pendidikan kedisiplinan militer ke para pelajar bermasalah di Jawa Barat ini menuai kritik dari beragam pihak.
Bukannya membatalkan, Dedi Mulyadi justru mau juga mengirim orang dewasa bermasalah ke barak militer untuk mendapat pendidikan kedisiplinan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dedi menjelaskan program pendidikan kedisiplinan di barak militer untuk orang dewasa itu bakal menyasar mereka nan kerap mabuk hingga meninggalkan keluarga.
"Ini bakal nan saya lakukan program untuk orang dewasa. Kerjanya mabuk saja alias misalnya bergeng-geng di jalanan. Nanti dijaring kemudian diserahkan ke Kodam III untuk dididik di Dodik ini," kata Dedi di Depo Pendidikan (Dodik) Bela Negara, Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (5/5).
Bertentangan dengan prinsip HAM
Koordinator Peneliti Imparsial Annisa Yudha menyatakan pendekatan militeristik nan diambil oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi itu bukan hanya corak nyata militerisasi di ranah sipil, tetapi juga bertentangan dengan prinsip HAM.
Ia menyebut langkah nan diambil Dedi itu malah mengaburkan garis demarkasi antara urusan sipil dan urusan militer.
Annisa menyampaikan perihal itu justru kian menunjukkan sikap inferioritas sipil atas militer.
"Yang dalam tahap tertentu sangat rawan bagi kehidupan sipil dan demokrasi. Kebebasan sipil tergerus, negara bakal dinilai sudah tidak bisa lagi memberikan agunan perlindungan atas kebebasan sipil warganya," kata Annisa kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/5).
Selain itu, Annisa beranggapan kebijakan itu juga membawa TNI kian melenceng jauh dari tupoksinya sebagai perangkat pertahanan negara.
Menurutnya, TNI justru sibuk dengan urusan sipil di dalam negeri. Bahkan terhadap urusan nan tak beririsan dengan urusan pertahanan.
"Misalnya, langkah untuk mengirimkan siswa-siswa nan dinilai bermasalah ke "pembinaan" di bawah TNI/militer nan malah itu melanggar kewenangan anak untuk mendapatkan pendidikan nan demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif," ucap Annisa.
Ia mengingatkan bahwa anak-anak merupakan golongan rentan. Menurutnya, kebijakan ini juga berpotensi memperkuat budaya kekerasan di bumi pendidikan.
Annisa menyebut para siswa itu justru dikirimkan ke lembaga nan mempunyai rekam jejak kekerasan nan terus berulang.
"Jelas ini menjadi ironi lantaran tidak bakal menjawab dan menyelesaikan akar persoalan soal kenakalan anak. Langkah ini tidak hanya keliru tapi sangat berbahaya," ujarnya.
Berlanjut ke laman berikutnya...