ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyoroti penggunaan Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) nan dinilai membatasi ruang mobilitas perusahaan asing. Sorotan itu muncul kala Pemerintah RI melakukan negosiasi tarif resiprokal beberapa waktu lalu.
Menanggapi perihal tersebut, Wakil Direktur Utama Rintis Sejahtera Suryono Hidayat menilai, kritis mengenai QRIS dan GPN menyangkut kepentingan upaya Negeri Paman Sam di luar negeri melalui jasa Visa dan Mastercard. Sementara Indonesia, lanjut Suryono, tidak terlalu memerlukan jasa tersebut lantaran transaksi domestik tetap cukup besar.
"Kan domestic transaction itu mungkin 90-95%. Ya, kan nggak perlu pake Visa, Mastercard dan lain-lain harusnya. Tapi mereka (AS) sudah mendominasi, jadi semua kartu, kartu debit, siapa nan nggak pakai Master, Visa? Kartu angsuran apa lagi? Ya, hanya Visa," kata Suryono kepada wartawan di Shangri-La Hotel, Jakarta, Rabu (30/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sehingga, kata Suryono, jasa QRIS dan GPN tetap perlu diterapkan untuk mendukung transaksi domestik. Ia menilai, mestinya masyarakat bangga dengan jasa tersebut, lantaran QRIS dan GPN merupakan sistem transaksi nan hanya dimiliki Indonesia.
"Kita kudu bangga sebagai orang Indonesia untuk sistem transfer. Di bumi manapun tidak ada nan ada tripartit. Tripartit gini, kartu bank A bisa dipake di bank B, transfer ke bank C. Itu hanya Indonesia. Di luar negeri itu hanya satu-satu," tegasnya.
Suryono menegaskan, kritik AS terhadap jasa transaksi Indonesia memuat kepentingan upaya lantaran Visa dan Mastercard-nya terancam. Namun begitu, dia mengaku tetap menanti langkah Bank Indonesia (BI) mengenai kritik AS nan disampaikan kala pemerintah RI tengah bermusyawarah ihwal tarif impor 32% tersebut.
"Persaingan upaya itu Amerika, lama-lama dengan QR kan nggak perlu lagi kartu kredit. Jadi itu nan merasa dimakan. Saya nggak tahu BI bakal merubah (regulasi) apa," tutupnya.
Untuk diketahui, Menteri Koordinator bagian Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah telah berkoordinasi dengan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai masukan dari pihak AS ihwal QRIS dan GPN.
"Juga termasuk di dalamnya sektor keuangan. Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama mengenai dengan payment nan diminta oleh pihak Amerika," ujar Airlangga dalam konvensi dikutip dari YouTube Perekonomian RI, Sabtu (19/4/2025).
Meski demikian, Airlangga belum menjelaskan secara rinci hal-hal apa saja nan bakal dilakukan pemerintah Indonesia berbareng BI dan OJK dalam menghadapi tarif AS. Adapun paket ekonomi lainnya nan juga mendapat sorotan dari AS menyangkut perizinan impor dengan penggunaan Angka Pengenal Importir melalui sistem Online Single Submission (OSS).
Kemudian juga beragam insentif perpajakan dan kepabeanan, hingga kuota impor. "Pembahasan ini guna mendiskusikan opsi-opsi nan ada mengenai kerja sama bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat nan kita berambisi bahwa situasi daripada perdagangan nan kita kembangkan berkarakter setara dan berimbang," ujarnya.
(kil/kil)