Apple Dan Meta Kena Denda Eropa Triliunan, Ternyata Ini Kronologinya

Sedang Trending 4 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com - Uni Eropa melakukan penertiban kekuasaan raksasa teknologi lewat patokan Digital Markets Act (DMA). Sebuah izin baru nan dirancang untuk menciptakan persaingan sehat di pasar digital.

Digital Markets Act adalah izin Uni Eropa nan mulai diimplementasikan secara penuh pada Maret 2024. Tujuan utamanya untuk mengatur perusahaan-perusahaan teknologi besar nan disebut "gatekeepers" agar tidak menyalahgunakan posisi dominannya di pasar digital.

Sebuah perusahaan dikategorikan sebagai gatekeeper jika memenuhi beberapa kriteria. Pertama, omzet tahunan mereka di Eropa minimal 7,5 miliar euro selama tiga tahun terakhir, alias kapitalisasi pasar lebih dari 75 miliar euro.

Kedua, mempunyai platform inti, seperti mesin pencari, jejaring sosial, jasa perpesanan, alias toko aplikasi dengan lebih dari 45 juta pengguna bulanan aktif dan 10.000 pengguna upaya tahunan di Uni Eropa.

Selain itu, perusahaan menempati posisi dominan dan stabil di pasar selama tiga tahun berturut-turut.

DMA menetapkan sejumlah larangan dan tanggungjawab bagi gatekeeper, di antaranya, tidak boleh memprioritaskan produk mereka sendiri di platform (self-preferencing). Perusahaan juga wajib mengizinkan interoperabilitas dengan jasa pesaing.

Selain itu, tidak boleh memaksa pengguna untuk menggunakan jasa tertentu, seperti sistem pembayaran milik sendiri. Dan Harus memungkinkan pengguna untuk menghapus aplikasi bawaan.

Gatekeeper nan melanggar DMA dapat dikenakan denda hingga 10% dari omzet dunia tahunan, dan hingga 20% untuk pelanggaran berulang. Dalam kasus nan berat, Uni Eropa apalagi dapat memaksa perusahaan untuk membubarkan bagian upaya tertentu.

Pada September 2023, Komisi Eropa untuk pertama kalinya menetapkan enam gatekeeper, termasuk di antaranya Alphabet, Amazon, Apple, ByteDance, Meta, Microsoft, di bawah DMA.

Apple, TikTok dan Meta Kena Semprit

Pada September 2024 lalu, Apple mendapat peringatan keras dari regulator antimonopoli Uni Eropa. Peringatan tersebut meminta Apple untuk membuka akses perangkat lunak miliknya ke para pesaing, alias ancaman denda menanti.

Regulator nan berbasis di Brussels itu bakal menentukan gimana Apple menyediakan interoperabilitas nan efektif dengan fungsionalitas seperti notifikasi, pemasangan perangkat, dan konektivitas.

Proses kedua menyangkut gimana Apple menangani permintaan interoperabilitas nan diajukan oleh developer dan pihak ketiga untuk iOS dan iPadOS. Perusahaan diminta untuk memastikan proses nan transparan, tepat waktu, dan adil.

Namun, enam bulan kemudian Apple kandas mematuhi permintaan Komisi tersebut.

Apple didenda oleh Komisi Eropa sebesar 500 juta euro (Rp 9,6 triliun). Para pejabat mengatakan bahwa Apple kandas mematuhi tanggungjawab "anti-pengaturan" di bawah DMA.

Apple diharuskan untuk mengizinkan developer secara bebas menginformasikan kepada pengguna tentang penawaran pengganti di luar App Store.

Raksasa teknologi ini diperintahkan oleh Uni Eropa untuk menghapus pembatasan teknis dan komersial pada pengemudian dan menahan diri untuk tidak melakukan tindakan nan tidak alim di masa depan.

Apple mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka berencana untuk mengusulkan banding atas denda Uni Eropa sembari melanjutkan obrolan dengan Komisi.

"Pengumuman hari ini adalah contoh lain dari Komisi Eropa nan secara tidak setara menargetkan Apple dalam serangkaian keputusan nan jelek bagi privasi dan keamanan pengguna kami, jelek bagi produk, dan memaksa kami untuk memberikan teknologi kami secara gratis," kata Apple dikutip dari CNBC Internasional.

Sementara itu, Meta didenda 200 juta euro (Rp 3,8 triliun). Komisi Uni Eropa menemukan bahwa Meta secara terlarangan mengharuskan pengguna untuk menyetujui pembagian info mereka dengan perusahaan alias bayar jasa bebas iklan.

Hal ini sebagai tanggapan atas pengenalan Meta atas tingkat langganan berbayar untuk FB dan IG pada November 2023.

Joel Kaplan, kepala urusan dunia Meta, mengatakan bahwa Komisi tersebut berupaya untuk melumpuhkan upaya asal Amerika. Sementara mengizinkan perusahaan-perusahaan China dan Eropa lain untuk beraksi dengan standar nan berbeda.

"Ini bukan hanya tentang denda. Komisi nan memaksa kami untuk mengubah model upaya kami secara efektif membebankan tarif miliaran dolar kepada Meta sembari mengharuskan kami untuk menawarkan jasa nan lebih rendah," kata Kaplan.

"Dan dengan membatasi iklan nan dipersonalisasi secara tidak adil, Komisi Eropa juga merugikan upaya dan ekonomi Eropa," imbuhnya.

Di satu sisi, ByteDance, pemilik TikTok, kalah dalam gugatan di pengadilan Uni Eropa pada Juli 2024. Gugatan itu mengenai digolongkannya TikTok sebagai gatekeeper dalam patokan mengenai pasar digital di wilayah tersebut.

Dari UU Pasar Digital Uni Eropa, gatekeeper adalah platform nan punya posisi sangat dominan. Menurut para hakim, Bytedance telah memenuhi periode pemisah mengenai patokan tersebut. Mulai dari nilai pasar global, jumlah pengguna TikTok di Eropa, dan periode pemisah periode penguasaan pasar.

Bytedance menyatakan kecewa dengan keputusan tersebut. Namun tetap berjanji bakal mengambil langkah mematuhi tanggungjawab relevan dari patokan tersebut.

"Sekarang kami bakal melakukan pertimbangan langkah selanjutnya, kami mengambil langkah mematuhi tanggungjawab relevan patokan sebelum tenggat Maret," jelas perusahaan.

Bytedance mengatakan hasil pengadilan bisa melemahkan tujuan UU Pasar Digital. Yakni bakal melindungi lebih dulu perusahaan dominan dari pesaing baru seperti TikTok nan tidak punya posisi kuat, dikutip dari Reuters.

Raksasa teknologi itu tetap mempunyai kesempatan untuk mengusulkan banding ke pengadilan tertinggi di Eropa.


(pgr/pgr)

Saksikan video di bawah ini:

Video: TikTok-Meta Tantang Aturan Australia, Desak Youtube Diblokir!

Next Article iPhone 'Gitu-Gitu Aja', Perusahaan Ini Rebut Posisi Puncak Apple

Selengkapnya