ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Pegiat antikorupsi hingga akademisi mengkritik keras pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden RI Prabowo Subianto kepada dua terdakwa kasus dugaan korupsi ialah Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto dan Menteri Perdagangan periode 12 Agustus 2015-27 Juli 2016 Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong).
Amnesti adalah kewenangan presiden untuk memberikan pembebasan kepada pelaku pidana, sementara itu abolisi adalah kewenangan kepala negara itu untuk menghapus penuntutan alias penjatuhan putusan terhadap pelaku pidana. Dalam pemberian perihal tersebut, presiden tetap kudu berkonsultasi dengan DPR.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai norma sedang dipermainkan. Dia mengatakan pemberian amnesti dan abolisi sebagai akibat dari peradilan politis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hukum sedang dipermainkan. Kalau mau mengampuni Hasto dan Tom kenapa kudu begini amat: drama di pengadilan dulu. Kenapa enggak sedari awal saja. Bukankah Kepolisian, Kejaksaan dan KPK di bawah Presiden," ujar Feri saat dikonfirmasi, Jumat (1/8).
Dia memandang keputusan nan dikeluarkan Prabowo tersebut tidak hanya menjadi preseden jelek bagi pemberantasan korupsi ke depan, tetapi juga bagi rumor peradilan nan sehat.
"Ini kesempatan para politisi memanfaatkan situasi. Jadi, ujung-ujungnya orang capek dengan segala drama peradilannya, tapi kelak bakal ada pahlawan politiknya di belakang layar," ungkap dia.
Sementara itu, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah 'Castro' menyatakan keputusan Prabowo memberikan amnesti dan abolisi dalam perkara korupsi merupakan tindakan nan keliru dan kudu dikritik.
Menurut dia, argumen nan disampaikan pemerintah melalui Menteri Hukum Supratman Andi Agtas nan menyebut pemberian pemaafan terhadap Hasto dan Tom untuk menjaga persatuan adalah tidak beralasan.
"Amnesti dan abolisi seolah-olah dijadikan perangkat kompromi politik," kata Castro melalui pesan suara.
Dia pun menjelaskan pemberian amnesti dan abolisi tersebut berbeda konteks dengan era pasca-Orde Baru (Orba), di mana banyak tahanan politik nan mendapat pemaafan dari Presiden ketiga RI BJ Habibie.
"Beda konteksnya jika kita lihat ke belakang pada masa Orde Baru, tahanan-tahanan politik kemudian diberikan amnesti oleh Presiden Habibie. Mochtar Pakpahan, Sri Bintang dan sebagainya, lantaran memang itu adalah tahanan politik," ucap Castro.
"Ini perkara korupsi loh ya. Itu mesti ditegaskan. Ini perkara korupsi. Dan rasanya belum ada tuh perkara korupsi nan diberikan amnesti dan abolisi mengingat derajat nan dilakukan. Jadi, keliru itu," sambungnya.
Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. (detikai.com/Adhi Wicaksono)
Castro memandang keputusan nan baru saja diambil Prabowo bakal menjadi preseden jelek bagi pemberantasan korupsi ke depan. Dia memandang langkah tersebut bakal melemahkan komitmen dari aktivitas melawan korupsi.
"Itu jelas bakal melemahkan komitmen dari aktivitas kita untuk melawan kejahatan korupsi," kata dia.
Dia menambahkan andaikan Hasto dan Tom merasa apa nan diperjuangkannya selama ini berada di jalan kebenaran, maka semestinya pemberian amnesti dan abolisi tersebut ditolak saja.
"Mestinya mereka menolak amnesti dan abolisi. Terus perjuangkan apa nan diyakini betul itu," katanya.
Keprihatinan dan kekecewaan
Mantan interogator senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan kecewa lantaran amnesti dan abolisi digunakan Prabowo selaku presiden untuk memberi pemaafan terhadap terdakwa kasus tindak pidana korupsi.
"Saya prihatin dan kecewa ketika mendengar amnesti dan abolisi digunakan pada perkara tindak pidana korupsi," kata Novel saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Jumat.
Novel mengingatkan korupsi merupakan kejahatan nan serius dan merupakan pengkhianatan terhadap kepentingan negara.
Menurut dia, ketika penyelesaian kasus korupsi dilakukan secara politis, maka bakal menjadi preseden jelek bagi pemberantasan korupsi ke depan. Terlebih, amnesti dan abolisi tersebut diberikan di tengah praktik korupsi nan semakin parah dan KPK sedang dilumpuhkan.
Teruntuk kasus Tom Lembong, Novel memandang semestinya pengadilan menjatuhkan putusan bebas lantaran tidak ditemukan kebenaran perbuatan dan bukti nan layak.
Apalagi, menurut dia, tuduhan perbuatan korupsi dalam impor gula tidak ada kausalitas dengan kerugian negara nan dipersoalkan.
"Karena ketika proses penegakan norma nan tidak betul dibiarkan bakal menjadi ancaman bagi para pejabat negara maupun perusahaan negara dalam mengambil kebijakan/keputusan nan dilakukan dengan iktikad baik dan mengikuti prinsip-prinsip good corporate governance," kata dia.
Sementara untuk kasus dugaan suap Hasto, Novel menuturkan perkara tersebut merupakan rangkaian perbuatan dari beberapa kejahatan nan dilakukan apalagi melibatkan beberapa orang, baik nan sudah dihukum maupun nan sedang dalam pelarian (buron).
Dia menyayangkan alih-alih mendorong agar perkara besar nan diduga terjadi sebelum kejahatan suap dilakukan, tetapi Hasto malah diberikan pemaafan alias amnesti.
"Dari penjelasan saya di atas, tentu langkah memberikan amnesti dan abolisi tidak sesuai dengan pidato Presiden nan bakal menyikat lenyap praktik korupsi. Justru ini bakal membikin kesan pemberantasan korupsi tidak mendapat tempat alias support dari pemerintah dan DPR," katanya.
Terdakwa kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) untuk personil DPR Harun Masiku dan perintangan investigasi Hasto Kristiyanto (tengah). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
Lembaga Indonesia Memanggil (IM57+) Institute nan didirikan para mantan pegawai KPK menilai pemberian amnesti dan abolisi pada terdakwa korupsi Hasto dan Tom Lembong itu adalah sebuah upaya mengakali hukum.
"Ini adalah corak terang benderangnya upaya mengakali norma nan berlaku," ujar Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito melalui pesan tertulis, Kamis malam.
Menurut pihaknya, pemberian amnesti dan abolisi terhadap terdakwa kasus korupsi sangat berbahaya. Hal tersebut mengingat penyelesaian kasus korupsi pada akhirnya dilakukan melalui kesepakatan politik dalam meja negosiasi nan mengingkari rakyat.
"Ini bisa menjadi preseden jelek bagi proses penegakan norma di negeri ini dan merupakan pengkhianatan atas janji pemberantasan korupsi nan diungkap oleh Presiden sendiri," ungkap Lakso.
"Ke depan, politisi tidak bakal takut melakukan korupsi lantaran penyelesaian dapat dilakukan melalui kesepakatan politik," imbuhnya.
Lakso menyerukan agar masyarakat luas menolak keputusan Presiden memberi amnesti dan abolisi terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi.
"Tindakan ini kudu ditolak secara masif lantaran andaikan dibiarkan bakal berakibat pada runtuhnya gedung rule of law dan bergantinya menjadi rule by law atas proses penegakan norma di negeri ini," ungkap Lakso.
Dalam keterangannya, Lakso menyentil keputusan memberi amnesti dan abolisi dimaksud sangat bertentangan dengan klaim komitmen pemberantasan tindak pidana korupsi nan sering digaungkan oleh Presiden Prabowo.
"Ini menandakan Presiden sama sekali tidak mempunyai komitmen terhadap pemberantasan korupsi dan hanya omon-omon saja. Di tengah upaya serius KPK dalam membongkar kasus nan menjadi tunggakan, Presiden malah memilih mengampuni," kata Lakso.
(ryn/kid)
[Gambas:Video CNN]