ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Mahrus Ali datang dalam sidang kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) personil DPR RI Harun Masiku dan perkara perintangan investigasi dengan terdakwa Hasto Kristiyanto. Dia menyatakan, terjadinya perintangan pada suatu perkara nan telah berkekuatan norma tetap alias inkrah tidaklah masuk akal.
Awalnya, kuasa norma Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy menanyakan pendapat mahir soal penggunaan pasal perintangan di tahap investigasi dengan mencontohkan sejumlah kasus, seperti misalnya nan dilakukan Frederich Yunadi di perkara Setya Novanto.
"Kemudian putusan Mahkamah Agung nomor 3315 Pidsus 2018 Frederich Yunadi, terpidana terbukti menghalangi investigasi terhadap tersangka korupsi Setyo Novanto, ini artinya dalam proses tingkat penyidikan?" tanya Ronny di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (20/6/2025) malam.
Perintangan di Tingkat Penyidikan
Mahrus mengatakan, Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya mengatur soal upaya perintangan di tingkat penyidikan. Sehingga, tidak masuk logika jika disebut terjadi saat tahap penyelidikan.
"Jadi itu nan saya katakan bahwa jika ada orang dikenakan Pasal 21, sementara perkara pokoknya jalan apalagi sampai ada putusan nan inkrah itu tidak make sense," kata Mahrus.
Menurutnya, jika terjadi perintangan pada penanganan perkara, maka prosesnya tidak bakal melangkah hingga diputus berkekuatan norma tetap oleh majelis hakim.
Adapun isi dari Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang nan dengan sengaja mencegah, merintangi, alias menggagalkan secara langsung alias tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
"Berarti apa? berfaedah tidak ada investigasi nan tercegah, tidak ada investigasi nan tergagalkan," terang Mahrus.
Masih Tahap Pro Justicia
Selain itu, dia juga menyebut bahwa dalam Undang-Undang tersebut telah dijelaskan soal batas secara gamblang dan tegas.
"Kemudian di dalam undang-undang dijelaskan secara jelas misalnya ini penyidikan,ya itu tidak bisa ditafsirkan lain selain penyidikan, bukan kemudian penyelidikan," ujarnya.
"Mencegahnya perbuatannya di penyelidikan, kenapa? untuk mencegah agar tidak terjadi penyidikan, enggak kaya gitu," lanjut Mahrus.
Terlebih, proses penyelidikan sendiri belum masuk pada tahap Pro Justicia, di mana abdi negara penegak norma tetap mencari ada tidaknya dugaan pelanggaran pidana.
"Kenapa? lantaran di penyelidikan belum ada pro Justicia, perangkat bukti belum ada di situ," Mahrus menandaskan.