36.000 Wanita Kena Kanker Serviks Tiap Tahun, Begini Cara Cegahnya

Sedang Trending 4 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.comKanker serviks adalah penyebab kematian kanker tertinggi kedua pada wanita di Indonesia. Setiap tahun, Kementerian Kesehatan memperkirakan ada lebih dari 36.000 kasus kanker serviks baru nan terdeteksi. Ironisnya, sekitar 70 persen dari kasus tersebut baru diketahui pada stadium lanjut, sehingga meningkatkan akibat kematian secara signifikan.

Cara paling efektif untuk mencegah kanker serviks adalah dengan pemberian vaksin HPV (Human Papillomavirus).

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) Kemenkes RI, dr. Siti Nadia Tarmizi menyebut, kanker serviks merupakan satu-satunya kanker nan bisa dicegah dan dideteksi sejak dini. Namun rendahnya kesadaran masyarakat dan tetap adanya stigma soal pemeriksaan kesehatan reproduksi menjadi tantangan besar di lapangan.

Sayangnya, hingga saat ini capaian skrining kanker serviks baru mencapai nomor 9,3% dari sasaran nasional 30%. Ia menyoroti tantangan logistik, pengedaran tenaga kesehatan, serta minimnya pendataan di wilayah pelosok sebagai halangan utama.

"Kita punya dua kunci, ialah perlindungan anak sebelum usia 15 tahun dengan vaksin HPV dan penemuan awal bagi nan di atasnya. Vaksin sekarang sudah cuma-cuma di Puskesmas, tapi untuk masyarakat nan belum terjangkau, kita tetap butuh beragam penemuan pembiayaan dan sistem pemeriksaan," ujar Nadia dalam konvensi pers di Jakarta, Kamis (24/4/2025).

Program ini juga mendapat support internasional, termasuk dari Johns Hopkins Program for International Education in Gynaecology and Obstetrics (Jhpiego). Dengan support biaya dari Roche dan BioFarma, Jhpiego bekerja sama dengan Kemenkes untuk menguji model penemuan kanker serviks di dua wilayah di Jawa Timur, ialah Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo.

"Kami mencoba pendekatan hub and spoke di Surabaya dengan skema pengambilan sampel mandiri. Wanita bisa melakukan skrining sendiri di rumah, lampau sampel dibawa ke Puskesmas alias Posyandu. Ini membuka akses nan lebih luas tanpa kudu berjuntai pada tenaga kesehatan," jelas perwakilan Jhpiego, Maryjane Lacoste dalam konvensi pers nan sama.

Sementara di Sidoarjo, pendekatannya lebih konvensional, di mana penemuan dilakukan langsung oleh tenaga medis di akomodasi kesehatan. Kedua pendekatan ini sedang dikaji untuk memandang efektivitasnya dalam memperluas cakupan dan efisiensi jasa penemuan kanker serviks.

Sementara itu, Prof. Dr. dr. Aryati, M.S., Sp.PK(K) dari PDS Patklin menegaskan pentingnya kecermatan dalam pengambilan spesimen, terutama dalam metode mandiri. Menurutnya, kesalahan prosedur bisa mencapai 70% jika masyarakat belum diberi edukasi memadai.

"Persiapan sebelum pengambilan sampel penting. Tidak boleh berasosiasi seksual alias memakai obat tertentu 4 jam sebelum tes. Jika salah ambil, hasil bisa tidak jeli dan mengganggu diagnosis," kata Aryati.

Ia juga mengingatkan soal pentingnya rantai dingin dan pengiriman sampel nan stabil. "Beberapa jenis media transport bisa tahan sampai 3 bulan pada suhu 15 derajat, tapi jika tidak sesuai, bisa rusak. Maka itu, training dan standar kudu jelas," tambahnya.

Ketiga narasumber juga sepakat bahwa eliminasi kanker serviks tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah. Keterlibatan sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sangat krusial.

"Ini bukan soal kampanye sekali lewat. Kita butuh sistem nan rutin, terintegrasi, dan dapat diakses oleh semua wanita di Indonesia," kata Maryjane Lacoste.


(hsy/hsy)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Resistensi Bisnis Wewangian di Tengah Pelemahan Daya Beli

Selengkapnya