ARTICLE AD BOX
Siapa nan sudah ikut tren 'What's my curse' di media sosial? Melalui tren ini, warganet membagikan 'kutukan' hasil berbincang dengan chatbot ChatGPT nan merujuk pada emosi alias kebiasaan negatif pribadi dalam hidup. Ini seakan menjadi arena refleksi diri untuk menjadi lebih baik.
Psikolog klinis Salma Ghina Sakinah Safari menuturkan tren ini mempunyai potensi pecandu refleksi nan negatif. Selain itu, ini juga kurang akurat, sehingga mempunyai potensi untuk menyesatkan.
"Terlalu sering mencari makna dari chatbot bisa membikin orang berjuntai untuk pengesahan diri," ujar Ghina ketika dihubungi detikaicom, Senin (29/7/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak semua 'kutukan' nan disebutkan relevan secara psikologis alias berasas konteks pribadi," sambungnya.
Meski demikian, tren ini juga mempunyai sisi positif. Menurutnya, ini menjadi langkah awal untuk seseorang mulai merenung alias berbincang dengan diri tentang kepribadian dan perasaan.
Ini juga bisa menjadi langkah kondusif untuk mengekspresikan diri untuk membuka pembicaraan tentang emosi tanpa terlalu serius.
"Ini juga memunculkan rasa 'terlihat' dan terhubung. Apalagi jika hasilnya dibagikan di media sosial, ada rasa bahwa 'aku nggak sendirian merasakannya'," sambung Ghina.
Suka Curhat ke ChatGPT, Normal alias Gangguan Psikologis?
Menurut Ghina, normal alias tidaknya seseorang nan curhat dengan ChatGPT tergantung dari tujuan dan frekuensi. Jika, seseorang sekedar mau meluapkan pikiran alias mencari saran awal sebelum ke profesional, ini bisa dianggap kondusif dan normal.
Namun, jika kebiasaan ini sudah mulai menggantikan peran manusia, kondisi ini mungkin kudu diperiksa.
"Jika seseorang mulai menggantikan peran manusia (teman, keluarga, alias terapis) dengan chatbot, alias merasa lebih nyaman berbincang dengan AI daripada manusia, ini bisa jadi tanda keterisolasian emosional," katanya.
Ghina mengingatkan ChatGPT tidak menyimpan info pengguna secara personal, sehingga krusial untuk tidak membagikan info pribadi dan sensitif. Selain itu, chatbot artificial intelligence (AI) juga tidak bisa menggantikan peran ahli psikologis.
"Chatbot bukan pengganti profesional, jadi jangan dijadikan sumber pemeriksaan alias terapi," tandas Ghina.
(avk/kna)