ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Pasar saham Amerika Serikat (AS) mengalami guncangan nan menyebabkan penanammodal meninggalkan Amerika Serikat (AS). Pemicunya kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump nan menerapkan tarif impor jawaban nan tinggi ke sejumlah negara, terutama China.
Perang jual beli ini juga mencoreng gambaran AS sebagai tempat investasi dengan keahlian terbaik bumi lantaran menciptakan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan upaya dan mengganggu proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan info perusahaan info dan perangkat lunak finansial Amerika, FactSet selama 15 tahun terakhir, S&P 500 terus mengungguli indeks-indeks utama di Eropa dan Asia, namun tahun ini, S&P 500 turun 10% dan berada di jalur menuju bulan terburuk sejak 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arun Sai, mahir strategi multi-aset senior di Pictet Asset Management mengatakan sikap keras pemerintahan Trump dalam mengubah sistem perdagangan internasional dan tatanan ekonomi dunia kemungkinan telah berkontribusi terhadap berkurangnya arus masuk ke aset-aset AS.
Ia mengatakan, meskipun pasar saham AS tetap menjadi tempat nan layak untuk berinvestasi dalam jangka panjang, sekarang penanammodal mencari saham di luar negeri untuk mendiversifikasi portofolio mereka.
"Jika Anda seorang penanammodal Eropa, Anda sekarang bakal berpikir dua kali untuk mengalokasikan biaya secara strategis ke AS. S&P 500 bukan lagi satu-satunya pilihan," kata Sai dikutip dari CNN, Senin (21/4/2025).
Kepala Solusi Investasi Invesco, Alessio de Longis mengatakan, tiga aspek utama nan mendorong peralihan konsentrasi penanammodal dari AS ke pasar luar negeri.
Pertama, pada Januari, model kepintaran buatan DeepSeek nan berbiaya rendah dan mirip ChatGPT mengejutkan Silicon Valley dan menantang narasi bahwa AS mempunyai kekuasaan langsung dalam AI.
Kedua, pada Februari, perubahan kebijakan luar negeri AS ke arah nan lebih sedikit support untuk Ukraina memacu pengeluaran pertahanan di Jerman. Hal ini menjadi untung bagi pertumbuhan ekonomi dan investasi di Eropa.
Ketiga, pada Maret dan April ialah kebijakan tarif Trump. Ia menilai pendekatan tarif Trump dilakukan secara tidak hati-hati menjadi pemicu ketiga penanammodal mencari pengganti di luar AS.
"Strategi komunikasi tarif nan tidak menentu, serta besarnya ancaman tarif di seluruh dunia, menjadi pemicu lain dari penurunan keahlian AS," kata de Longis.
Kemudian, Survei terbaru dari Asosiasi Investor Individual Amerika juga menunjukkan bahwa selama delapan minggu terakhir, lebih dari 50% responden bersikap pesimis terhadap pasar saham AS.
Ahli Strategi Investasi di Focus Wealth Partners Jason Blackwell, mengatakan selama 15 tahun terakhir nyaris tidak ada kliennya nan mau menambah alokasi saham internasional. namun sekarang permintaan itu kembali muncul.
"DeepSeek, pertumbuhan di Eropa, tren deglobalisasi, serta tarif-tarif Trump telah membikin penanammodal betul-betul mempertimbangkan ulang eksposur internasional mereka," katanya.
Bersambung ke laman berikutnya. Langsung klik
Sementara itu menurut bank universal multinasional Inggris Barclays, AS menyumbang sekitar 25% dari PDB dunia dan 65% dari nilai pasar saham bumi pada awal tahun ini. Namun, kekuasaan ini sekarang menghadapi tantangan nyata.
"Selama nyaris 20 tahun, AS menikmati aliran biaya tak henti-hentinya ke aset finansial dolar. Tapi kini, banyak perihal telah berubah di tempat lain," tulis Ajay Rajadhyaksha, Analisis dari Barclays.
Ia mengatakan, Eropa, misalnya, mulai mengangkat stimulus fiskal besar-besaran. Sementara itu, China juga menunjukkan kemajuan teknologi luar biasa lewat Huawei dan perusahaan kendaraan listrik BYD, nan sekarang menjadi pesaing utama Tesla.
Survei Bank of America pada April menunjukkan 49% responden beranggapan ekonomi dunia sedang menuju pendaratan keras. Namun di satu sisi, emas telah melonjak nyaris 27% tahun ini, menembus rekor tertinggi lantaran penanammodal beramai-ramai ke aset nan dianggap stabil. Kondisi ini menggantikan saham-saham teknologi besar nan selama dua tahun terakhir mendominasi.
Sementara itu, dolar AS melemah secara luas sepanjang tahun ini. Indeks dolar nan mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata duit utama mencatatkan pekan terburuknya sejak 2022. Euro apalagi mencapai titik tertingginya terhadap dolar dalam lebih dari tiga tahun.