Tangis-amarah Keluarga Korban Kejahatan Duterte Saksikan Sidang Icc

Sedang Trending 7 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com --

Tangis hingga kemarahan family korban 'meledak' saat mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyebutkan namanya di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) pada Jumat (14/3) waktu setempat.

Mereka menonton sidang terhadap Duterte dari sebuah ruangan sempit di sebuah gereja Manila.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Delapan wanita duduk menyaksikan siaran langsung sidang tersebut. Beberapa dari mereka menggenggam foto suami alias anak nan menjadi korban dalam perang sadis 'melawan' narkoba, kebijakan utama selama kepemimpinan Duterte nan merenggut banyak nyawa.

Pria 79 tahun itu, nan diizinkan datang secara virtual, didakwa atas kejahatan terhadap kemanusiaan akibat kampanye selama bertahun-tahun, nan menurut golongan kewenangan asasi telah menewaskan ribuan orang, kebanyakan laki-laki miskin.

Para janda dan ibu nan berkumpul ribuan kilometer jauhnya telah diberitahu sebelumnya bahwa mantan presiden itu hanya bakal diminta menyebut namanya. Namun, hanya mendengar namanya saja sudah cukup untuk membangkitkan ketakutan dan kebencian.

"Namanya saja sudah membikin kami takut dan muak," kata Normita Lopez, 60 tahun, nan kemudian terdengar menangis di antara para hadirin melansir AFP.

Polisi Filipina menembak putranya lima kali dengan argumen 'melawan petugas', sebuah frasa nan sering digunakan untuk membenarkan pembunuhan tersangka narkoba.

Keputusan untuk mengizinkan Duterte datang melalui video dari pusat penahanannya setelah perjalanan panjang dari Manila menuai cemoohan dari beberapa orang nan hadir.

"Dia tidak terlihat capek bagi saya," teriak seorang wanita kepada layar.

Teriakan hinaan juga terdengar ketika pengacara Duterte, Salvador Medialdea, menyatakan bahwa pemindahan kliennya ke Den Haag adalah 'penculikan'.

Sheerah Escudero, nan kerabat laki-lakinya, Ephraim, diculik dan kemudian ditemukan tewas selama penumpasan narkoba, mengatakan bahwa kebenaran Duterte mendapatkan pengadilan nan setara justru menegaskan ketidakadilan.

"Kami, kerabat saya, apakah kami pernah mendapat kewenangan asasi manusia seperti itu?" tanyanya setelah menyaksikan siaran sidang.

Sementara itu, Jane Lee, nan suaminya tewas dalam perang narkoba, mengatakan bahwa dirinya nyaris tidak bisa menahan kemarahan saat memandang wajah mantan presiden tersebut.

"Ketika saya melihatnya, saya sangat marah hingga nyaris tidak bisa mengendalikan diri," kata wanita 42 tahun itu, mengingat gimana Duterte pernah tertawa saat mendengar penyebutan para korban dalam sebuah sidang Senat.

Ketika siaran sidang ICC berakhir, bunyi keluhan terdengar keras saat pengadil menjelaskan bahwa sidang berikutnya baru bakal digelar enam bulan ke depan.

Namun, Lee menegaskan kepada para hadirin bahwa mereka bakal menggunakan waktu itu untuk terus memperjuangkan keadilan.

"Kami berambisi dia tidak bakal kembali ke Filipina, agar kami bisa merasakan kedamaian meskipun hanya sedikit," ujarnya.

(tst/bac)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya