ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Laporan Layanan Perubahan Iklim Copernicus (C3S) nan diimplementasikan Pusat Prakiraan Cuaca Jangka Menengah Eropa, mengungkap suhu Bumi pada Januari 2025 sudah mencapai 1,75 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Hal ini membuktikan ramalan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) nan menyebut Bumi bakal melampaui tingkat pemanasan dunia 1,5 derajat Celcius dalam 10 tahun ke depan.
Padahal 1,5 derajat Celcius adalah pemisah musibah pemanasan dunia nan dampaknya ke Bumi sudah tidak bisa diperbaiki. IPCC menegaskan bahwa kondisi ini berfaedah penduduk Bumi berhadapan dengan dasawarsa paling krusial dalam sejarah manusia.
Temuan IPCC ini tertera dalam laporan PBB beberapa saat lalu. PBB mengimbau agar penduduk Bumi segera mengurangi emisi pemanasan dunia secara drastis.
Menurut IPCC, saat ini manusia mempunyai beragam tool nan dibutuhkan untuk mengatasi persoalan iklim. Misalnya teknologi nan mumpuni, peralatan nan canggih, hingga anggaran nan cukup.
"Satu-satunya nan kurang adalah kemauan politik nan kuat," kata Ketua IPCC Lee Hoesung, dikutip dari AFP.
Dampak pemanasan dunia ini sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Bumi dalam corak cuaca ekstrem.
"Tahun paling hangat nan kita alami saat ini bakal menjadi tahun terdingin di satu generasi," kata intelektual dari Imperial College London, Friederike Otto.
Dampak terlampauinya pemisah 1,5 derajat Celcius adalah sinyal peningkatan laju kepunahan spesies, kandas panen, hingga "tipping point" dari perubahan sistem suasana berupa kematian koral dan mencairnya es di kutub.
Sekjen PBB Antonio Gueterres menyatakan negara kaya nan tadinya menargetkan karbon netral pada 2050 kudu mempercepatnya menjadi 2040 untuk "menjinakkan peledak iklim"
"Manusia berdiri di lapisan es nan tipis, dan es itu mencair dengan sangat cepat," kata Gueterres.
Menurut laporan IPCC, jika Bumi hanya bisa menahan laju pemanasan dunia sebesar 1,8 derajat Celcius, separuh dari manusia di Bumi bakal hidup di tengah panas dan kelembaban ekstrem pada 2100.
Wilayah nan paling terdampak dari panas dan kelembaban ekstrem tersebut termasuk Asia Tenggara, sebagian dari Brasil, dan Afrika bagian barat.
Dikutip dari laman resmi World Meteorological Organization (WMO), Selasa (8/4/2025), dikatakan bahwa Januari 2025 menandai bulan ke-18 dalam sembilan belas bulan terakhir di mana suhu permukaan udara rata-rata dunia lebih dari 1,5°C di atas tingkat pra-industri.
Menurut kajian dunia campuran WMO terhadap enam set info internasional, 2024 merupakan tahun terhangat nan pernah tercatat, kemungkinan mencapai 1,5°C untuk pertama kalinya.
"Namun, satu tahun di atas 1,5°C tidak berfaedah kita kandas memenuhi sasaran suhu jangka panjang Perjanjian Paris, nan diukur selama beberapa dekade, bukan satu tahun," tertera dalam laman WMO.
Kendati demikian, krusial untuk menyadari bahwa setiap fraksi derajat pemanasan itu penting. Sebagai catatan, 10 tahun terakhir merupakan sepuluh tahun terhangat nan pernah tercatat.
Variasi suhu sendiri tidak seragam. Suhu pada bulan Januari 2025 berada di atas rata-rata di sebagian besar dunia, tetapi jauh di bawah rata-rata di Amerika Serikat, Greenland, dan Rusia timur jauh.
Luas es laut Arktik pada bulan Januari merupakan nan terendah nan pernah tercatat, menurut C3S, dan terendah kedua menurut NOAA.
(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Transformasi Kesehatan: Menyongsong Indonesia Emas 2045
Next Article Ilmuwan Takut Kiamat Makin Nyata Gegara Donald Trump, Ini Alasannya