ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Dunia menghadapi ancaman serius dari krisis suasana yang makin tak terkendali. Para intelektual memperingatkan bahwa dalam satu dasawarsa ke depan, manusia bisa kehilangan kendali atas laju pemanasan global.
Sekitar tahun 2030, suhu Bumi diprediksi menembus periode pemisah 1,5 derajat Celcius, nan disebut sebagai titik kritis tanpa jalan kembali. Jika perihal ini terjadi, dampaknya bakal langsung dirasakan oleh seluruh umat manusia. Mulai dari peningkatan laju kepunahan spesies, kandas panen, hingga 'tipping point' pada perubahan sistem suasana ialah kematian koral dan mencairnya es di kutub.
Sejumlah negara kaya telah merencanakan untuk melakukan aktivitas karbon netral. Namun aktivitas tersebut baru terlaksana hingga 2050, nan diminta Sekjen PBB Antonio Gueterres untuk dipercepat 10 tahun.
Pihak PBB juga mendorong seluruh manusia untuk melakukan pengurangan emisi secara global.
Semnetara itu Ketua IPCC (Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim), Lee Hoesung mengakui pihaknya telah mengetahui langkah menghindari kejadian tersebut. Namun mereka terkendala dengan kemauan politik antarnegara.
"Kami tahu caranya, punya teknologi, peralatan, dan anggaran - semua nan dibutuhkan untuk mengatasi persoalan suasana nan sudah kita kenali sejak lama. Satu-satunya nan kurang adalah kemauan politik nan kuat," kata Lee Hoesung, dikutip dari AFP, Selasa (8/7/2025).
Suhu Bumi diprediksi bakal terus memanas hingga berpuluh-puluh tahun kemudian. Pada 2100, IPCC memprediksi laju pemanasan dunia mncapai 1,8 derajat celcius dan separuh populasi manusia bakal hidup di tengah kepanasan dan kelembaban ekstrem.
Panas dan kelembaban ekstrem bakal melanda sejumlah negara. Mulai dari Asia Tenggara, sebagian Brasil hingga negara-negara di Afrika Barat.
Sekarang, pemanasan dunia juga telah dirasakan di Bumi. Suhunya telah melampaui 1,2 derajat Celcius lebih panas dari masa pra-industri.
Dampaknya cuaca ekstrem telah sering terjadi di Bumi. "Tahun paling hangat nan kita alami saat ini bakal menjadi tahun terdingin di satu generasi," kata intelektual dari Imperial College London, Friederike Otto.
Es 20 kali Jawa lumer
Es di wilayah Antartika terus mencair. Catatan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) pada 27 Juni 2023 lalu, luas laut es-nya nyaris 2,6 juta kilometer persegi alias di bawah rata-rata sepanjang tahun ini.
Luas tersebut 20 kali dari luas Pulau Jawa. Pulau tersebut mempunyai luas sekitar 128.297 km persegi. Saat ini, Antartika masuk ke musim dingin, semestinya pertumbuhan es laut lebih cepat. Namun rupanya tidak terjadi seperti periode serupa pada tahun-tahun sebelumnya.
"Pada fase pertumbuhan musim dingin, es laut Antartika mencapai rekor terendah sepanjang tahun ini," tulis NOAA dalam akun Twitternya, dikutip Live Science.
"Luas es laut mendekati separuh juta mil persegi di bawah pemisah terendah sebelumnya, diamati pada tahun 2022".
Penyusutan es laut telah terjadi nyaris di seluruh pinggiran benua. Kecuali nan berada di Laut Amundsen dan Antartika Barat.
Hingga sekarang, es laut Antartika tersisa 11,7 juta km persegi. Diperkirakan area tersebut bakal bertumbuh pada akhir September, saat luas es laut mencapai titik puncaknya ialah sekitar 18,4 juta km persegi.
Sementara titik terendah es laut terjadi pada akhir Februari hingga awal Maret, ialah saat musim semi dan musim panas. Total luas minimum saat itu adalah 2,5 juta km persegi.
Para peneliti telah melakukan pengukuran tingkat laut es Antartika. Secara konsisten terus di bawah rata-rata pada periode 1981-2010, dan rekor terendah harian sejak April 2023.
"Perilaku luas biasa es laut Antartika saat ini menimbulkan pertanyaan apakah bisa jadi awal tren jangka panjang mengenai perubahan suasana alias lautan, namun menjawabnya bakal butuh lebih banyak waktu, daya dan penelitian," kata NOAA.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tanda Kiamat Terlihat di Samudra Atlantik, Makin Kritis Tahun Ini