Simalakama Tarif As, Senjata Rahasia China Bisa Kubur Mimpi Maga Trump

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com - Gejolak finansial mengguncang pasar dunia setelah para penanammodal ramai-ramai melepas obligasi pemerintah Amerika Serikat. Aksi jual besar-besaran ini mencerminkan runtuhnya kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi AS, nan sekarang berada di bawah bayang-bayang perang jual beli dan lonjakan suku kembang obligasi.

Presiden Donald Trump nan terkenal dengan semboyan Make America Great Again (MAGA) baru saja memberlakukan tarif tinggi sebesar 104% terhadap beragam produk asal China pada Rabu (9/4/2025) tengah malam, nan kemudian dibalas oleh Beijing dengan tarif jawaban sebesar 84%. Ketegangan meningkat ketika Trump meningkatkan tarif terhadap China menjadi 125%.

Langkah-langkah ini telah menciptakan ketidakpastian besar, memicu penurunan tajam di pasar saham, dan menimbulkan ketakutan bakal inflasi nan melonjak.

Dilansir dari laporan BBC, Kamis (10/4/2025), nan paling mencemaskan para ahli ekonomi adalah potensi akibat terhadap pasar obligasi. Tingkat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS dengan tenor 10 tahun melonjak dari 3,9% menjadi 4,5% hanya dalam beberapa hari-angka tertinggi sejak Februari.

Kenaikan ini mencerminkan melemahnya permintaan terhadap surat utang AS, nan selama ini dikenal sebagai tempat berlindung kondusif (safe haven) bagi penanammodal di masa krisis.

"Naiknya imbal hasil obligasi berfaedah meningkatnya biaya pinjaman, baik bagi perusahaan maupun pemerintah," jelas Laith Khalaf, kepala kajian investasi di AJ Bell. "Obligasi semestinya berkinerja baik saat terjadi gejolak, namun perang jual beli Trump sekarang merusak pasar utang AS," lanjutnya.

Harga obligasi jatuh seiring penanammodal nan menjualnya secara masif. Para analis memperingatkan bahwa kejatuhan ini bisa memperparah tekanan terhadap ekonomi AS, nan sudah terguncang oleh tingginya ketegangan perdagangan.

Salah satu tokoh ekonomi global, Mohammed El-Erian, penasihat ekonomi utama di Allianz dan mantan ketua manajer obligasi terbesar di dunia, PIMCO, menyatakan bahwa lonjakan biaya pinjaman ini menandakan "terkikisnya persepsi bahwa obligasi AS adalah aset aman."

"Kekhawatiran terhadap akibat tarif terhadap inflasi dan defisit anggaran pemerintah AS adalah pemicu utama. Investor mulai meragukan arah kebijakan ekonomi AS," tuturnya.

'Senjata Rahasia China'

Di tengah krisis ini, muncul dugaan bahwa negara asing-termasuk China nan saat ini memegang sekitar US$759 miliar obligasi pemerintah AS-sedang mempertimbangkan untuk menjual kepemilikannya.

Langkah semacam itu, jika terjadi, dapat memperparah tekanan terhadap dolar dan meningkatkan imbal hasil obligasi lebih jauh.

George Saravelos, kepala dunia riset valas di Deutsche Bank, mengatakan bahwa Federal Reserve (The Fed) mungkin terpaksa melakukan intervensi darurat.

"Kami tidak memandang opsi lain bagi The Fed selain turun tangan dengan membeli obligasi pemerintah AS untuk menstabilkan pasar," ujarnya. "Kita memasuki wilayah nan belum dipetakan. Sulit untuk memprediksi reaksi pasar selanjutnya lantaran jelas penanammodal telah kehilangan kepercayaan terhadap aset-aset AS."

Saravelos menambahkan bahwa perang jual beli ini tampaknya tak bakal menghasilkan pemenang. "Yang kalah adalah ekonomi global," katanya.

Bayangan Resesi

Situasi ini juga memunculkan gambaran resesi di Amerika. JP Morgan sekarang memperkirakan kemungkinan terjadinya resesi AS meningkat dari 40% menjadi 60%, menyebut kebijakan ekonomi saat ini "bergeser menjauh dari pertumbuhan".

Simon French, kepala ahli ekonomi di Panmure Liberum, mengatakan bahwa Fed dapat mempertimbangkan pemangkasan suku kembang untuk mengurangi akibat terhadap sektor tenaga kerja. "Kemungkinan AS masuk ke dalam resesi sekarang seperti melempar koin," katanya.

Resesi didefinisikan sebagai penurunan aktivitas ekonomi nan luas dan berkepanjangan, biasanya disertai lonjakan pengangguran dan penurunan pendapatan.

Sementara itu, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, memihak kebijakan Trump dengan menyatakan bahwa tujuan tarif adalah untuk membawa "lapangan kerja dan manufaktur kembali ke Amerika, meningkatkan upah, pendapatan, dan menghidupkan kembali American Dream."

"Pemerintahan Trump mau memperbaiki ketimpangan perdagangan dunia nan telah berjalan lama."

Meskipun Trump mengumumkan penangguhan tarif tambahan selama 90 hari bagi beberapa negara serta penerapan tarif resiprokal 10% bagi negara lainnya-yang sempat memicu reli di pasar saham AS-dampak jangka panjang dari kebijakan ini tetap penuh tanda tanya.

Pertanyaan besar sekarang adalah: apakah China betul-betul bakal melepas obligasi AS dalam jumlah besar? Jika ya, maka bumi mungkin bakal menghadapi angin besar finansial nan lebih besar dari nan diperkirakan siapapun.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Wajib Tahu! Begini Peluang Cuan di Pasar Saham & Obligasi RI

Next Article Begini Analisa Bos BRI (BBRI) Setelah Trump Terpilih Jadi Presiden AS

Selengkapnya