Sidang Gugatan Perdana Di Mk, Koalisi Masyarakat Sipil Sebut Uu Tni Ilegal

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana gugatan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), hari ini Rabu (14/5/2025). Gugatan diajukan oleh sejumlah pihak nan tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil.

Dalam gugatannya, Koalisi Masyarakat Sipil menyebut UU TNI ilegal. Mereka juga meminta MK menunda pemberlakuan UU TNI sampai dengan adanya putusan akhir MK.

"Perencanaan revisi Undang-Undang TNI dalam proglegnas prioritas tahun 2025 dilakukan secara ilegal," kata Hussein Ahmad selaku kuasa norma para Pemohon dalam sidang pembukaan Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu, dikutip dari siaran pers MK.

Para Pemohon mengatakan, revisi UU TNI tidak terdaftar dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas DPR RI Tahun 2025 serta tidak menjadi RUU prioritas pemerintah, apalagi hingga 2029.

Selain itu, revisi UU TNI pun bukan carry over. Sebab, syarat nan kudu dipenuhi untuk menjadikan suatu RUU carry over yakni, adanya kesepakatan antara DPR, presiden, dan/atau DPD untuk memasukkan kembali RUU ke dalam daftar prolegnas jangka menengah dan/atau prioritas tahunan.

Sedangkan, tidak ada RUU TNI dalam Keputusan DPR nan berisikan 12 RUU carry over dalam Prolegnas 2025 maupun Prolegnas 2025-2029.

Tak Libatkan Partisipasi Publik

Para Pemohon menuturkan proses pembahasan revisi UU TNI sengaja menutup partisipasi publik, tidak transparan, dan tidak akuntabel sehingga menimbulkan kegagalan pembentukan hukum.

Segala arsip pembentukan revisi UU TNI mulai dari naskah akademik, daftar inventarisasi masalah (DIM), hingga undang-undang itu sendiri tidak dapat diakses oleh publik.

"Rapat-rapat pembentukan revisi UU TNI oleh DPR dan pemerintah digelar secara sembunyi-sembunyi di ruang tertutup. Hal ini mempertegas abusive law making dalam pembentukan revisi UU TNI dan tidak melibatkan partisipasi publik nan bermakna," tutur Bugivia Maharani Setiadji P, kuasa norma para Pemohon lainnya.

Bahkan, pemohon menilai terdapat kesengajaan untuk tidak mengedepankan asas keterbukaan, dimana draf RUU TNI nan sedang dibahas DPR RI pada saat itu susah diakses. Hal tersebut mempertegas pelanggaran prosedural pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dan Tata Tertib DPR RI.

Minta Pemberlakuan UU TNI Baru Ditunda

Hingga saat ini pun, menurut para Pemohon, DPR dan Presiden sengaja menahan penyebarluasan arsip revisi UU TNI setelah disahkan dan tidak langsung membuka akses arsip tersebut kepada publik. Hal ini bertentangan dengan Pasal 88 dan Pasal 90 ayat (1) UU P3 nan menyatakan UU nan telah disahkan kudu disebarluaskan oleh pembentuk undang-undang.

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan pembentukan UU TNI tentang Perubahan atas UU 34/2004 tentang TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU menurut UUD 1945, menyatakan UU TNI tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, serta menyatakan UU 34/2004 tentang TNI bertindak kembali.

Sementara dalam provisinya, para Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan UU TNI ditunda pemberlakuannya sampai dengan adanya putusan akhir MK, serta memerintahkan presiden/DPR untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru maupun tidak mengeluarkan kebijakan dan/atau tindakan strategis nan berangkaian dengan penyelenggaraan UU TNI baru ini.

Provisi tersebut diajukan lantaran menurut Pemohon, penerapan UU baru ini telah dijalankan oleh pemerintah maupun TNI.

Respons MK

Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel nan dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Dalam sesi penasehatannya, para pengadil konstitusi menyoroti provisi nan dimohonkan para Pemohon.

Suhartoyo mengatakan, Mahkamah menerapkan sistem peradilan sigap untuk pengetesan formil. Sedangkan, Mahkamah kudu memeriksa substansi permohonan nan memerlukan proses panjang sebelum menjatuhkan putusan provisi. Sehingga dia menegaskan, provisi ini bukan sesuatu nan mudah untuk diminta alias dikabulkan.

"Ini relevan tidak putusan provisi dijatuhkan lantaran itu sudah bagian dari penilaian bakal substansi," kata Suhartoyo.

Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo menuturkan para Pemohon dapat memperbaiki permohonan selama 14 hari. Berkas perbaikan permohonan tersebut kudu diterima Mahkamah paling lambat pada Selasa, 27 Mei 2025.

Adapun pengunggat yakni, YLBHI, Imparsial, Kontras, putri Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid Inayah WD Rahman, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty.

Selengkapnya