Setara Institute Sebut Ruu Tni Masih Beri Ruang Dwifungsi Tentara Dan Militerisme

Sedang Trending 8 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta Pemerintah sudah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI ke DPR RI pada Selasa, 11 Maret 2025. Meski begitu, draft tersebut dinilai tetap mengandung pasal-pasal bermasalah nan tetap dapat mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme.

Ikhsan Yosarie dari SETARA Institute nan tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Kemanan menyampaikan, sejak awal pihaknya menilai pengajuan revisi terhadap UU TNI tidak mempunyai urgensi. Sebab, UU TNI No. 34 tahun 2004 tetap relevan digunakan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer nan profesional, sehingga belum perlu diubah.

“Yang perlu diubah oleh pemerintah dan DPR adalah patokan tentang peradilan militer nan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 agar prajurit militer tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum demi menegakkan asas persamaan di hadapan norma nan ditegaskan dalam Konstitusi,” tutur Ikhsan dalam keterangannya, Jumat (14/3/2025).

Koalisi masyarakat sipil menilai, secara substansi RUU TNI tetap mengandung pasal-pasal bermasalah. Pertama, ekspansi di kedudukan sipil nan menambah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat dan ini jelas merupakan corak dwifungsi TNI.

“Untuk di instansi Kejaksaan Agung, penempatan ini tidaklah tepat lantaran kegunaan TNI sejatinya sebagai perangkat pertahanan negara, sementara Kejaksaan fungsinya adalah sebagai abdi negara penegak hukum. Walau saat ini sudah ada Jampidmil di Kejaksaan agung, namun perwira TNI aktif nan menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya kudu mengundurkan diri terlebih dahulu,” jelas dia.

Sejak awal dibentuk, kata Ikhsan, pihaknya sudah mengkritisi keberadaan Jaksa Agung Muda Pidana Militer di Kejaksaan Agung nan sejatinya tidak diperlukan lantaran hanya menangani perkara koneksitas dan semestinya tidak perlu dipermanenkan menjadi sebuah jabatan.

“Untuk kepentingan koneksitas sebenarnya bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc campuran tim Kejaksaan Agung dan oditur militer. Lagipula, peradilan koneksitas selama ini juga bermasalah lantaran seringkali menjadi sarana impunitas,” ungkap dia.

Promosi 1

Penyempitan

Dia mengatakan, peradilan koneksitas pun sepatutnya dihapus lantaran jika militer alias sipil terlibat tindak pidana umum maka bakal langsung tunduk dalam peradilan umum, sehingga tidak perlu koneksitas.

Dengan demikian, penambahan kedudukan sipil di Kejagung sebagaimana dimaksud dalam RUU TNI tidaklah tepat, termasuk keberadaan Jampidmil.

Penempatan TNI aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga diyakini tidak tepat. KKP merupakan lembaga sipil, sehingga tidak semestinya ditempati oleh prajurit TNI aktif.

“Prajurit TNI aktif nan menduduki kedudukan di KKP sudah seharunsya mengundurkan diri,” ujarnya.

Hal sebenarnya nan diperlukan, lanjut Ikhsan, bukanlah ekspansi kedudukan sipil nan dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, namun justru penyempitan, pembatasan, dan pengurangan TNI aktif untuk duduk di kedudukan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI.

“Jadi jika mau merevisi UU TNI justru semestinya 10 kedudukan sipil nan diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi bukan malah ditambah,” terangnya.

Dipandang Berlebihan

Selain itu, koalisi menilai penambahan tugas operasi militer selain perang nan meluas, seperti misalnya ikut menangani masalah narkotika adalah terlalu berlebihan. Penanganan narkoba semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum.

Sebagai perangkat pertahanan negara, TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya. Sebab, penanganan narkotika semestinya lebih menekankan pada aspek medis, dan penegakan norma pun kudu melakukannya secara proporsional, artinya tidak represif alias apalagi justru melalui operasi militer selain perang dengan pelibatan TNI di dalamnya.

“Karena itu, pelibatan TNI dalam penanganan narkotika adalah berlebihan dan bakal meletakkan model penanganan narkotika menjadi war model dengan melibatkan militer di dalamnya dan bukan criminal justice sistem model lagi sehingga ini rawan lantaran bakal membuka potensi execive power,” tuturnya.

Lebih rawan lagi, sambung Ikhsan, pelibatan tentara dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara sebagaimana diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34 Tahun 2004, namun bakal diatur lebih lanjut dalam PP sebagaimana draft RUU TNI.

“Draft pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat. Selain itu, perihal ini bakal menimbulkan bentrok kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya abdi negara penegak norma dalam mengatasi masalah di dalam negeri,” tukasnya.

Atas dasar perihal tersebut, koalisi dengan tegas menolak DIM RUU TNI nan disampaikan pemerintah ke DPR, karena tetap mengandung pasal-pasal bermasalah nan tetap bakal mengembalikan Dwi Fungsi TNI dan militerisme di Indonesia.

“Pernyataan kepala komunikasi presiden nan menilai tidak ada Dwi Fungsi dalam RUU TNI adalah keliru, tidak tepat dan tidak memahami persoalan nan ada dalam RUU TNI,” Ikhsan menandaskan.

Selengkapnya