ARTICLE AD BOX
Christie Stefanie
Review The Last Supper: Penggambaran kegalauan siswa di hari terakhir Yesus, tapi minim kekuatan emosional dalam penceritaannya.
Jakarta, detikai.com --
The Last Supper menyajikan kisah nan jauh lebih sederhana dibandingkan The Passion of the Christ alias movie berasas Alkitab lainnya. Perbedaan signifikannya di pendekatan perspektif para siswa di hari-hari terakhir Yesus.
Film garapan sutradara Italia Mauro Borelli ini lebih banyak mengambil perspektif pandang Petrus (James Oliver Wheatley) dan Yudas Iskariot (Robert Knepper).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Segala kegundahan dan perdebatan jiwa para siswa jelas lebih mendominasi cerita The Last Supper, dibandingkan dengan momen-momen Yesus (Jamie Ward) sebelum disalibkan dan bangkit pada hari nan ketiga.
Petrus apalagi menjadi narator kisah dalam movie tersebut dan mengupas lebih dalam motif Yudas nan mengingkari Yesus.
Sepanjang film, Yudas diperlihatkan sedang bimbang antara mengingkari Yesus alias tidak menyusul putusan-putusan Gurunya yang bertolak belakang dengan ekspektasi dan pemikirannya.
Kegundahan nan dirasakan Yudas meningkat setelah dia mendapat tawaran dan hadiah duit dari Imam Besar Kayafas (James Faulkner) untuk membantunya membunuh Yesus.
[Gambas:Video CNN]
Konflik kebatinan Yudas disoroti begitu dalam dengan menghadirkan Setan (Ahmed Hammoud) nan menampakkan diri kepadanya sebagai ular sembari mengucapkan kata-kata nan menggoda kepada Yudas.
Adegan-adegan tersebut menghadirkan sedikit unsur eerie dalam movie ini bak tontonan seram ringan.
Keresahan Yudas pula nan kemudian berakibat ke Petrus dengan segala upaya manusianya melindungi Yesus, terutama setelah menyadari Gurunya dipantau Kayafas usai mengusir semua pedagang dan orang nan berjual beli di laman Bait Allah.
Di sisi lain, ketegangan di antara Petrus dan Yudas dinetralisasikan melalui kehadiran dan celetukan-celetukan Yohanes (Charlie MacGechan) si siswa nan menyenangkan.
Bak judulnya, The Last Supper, movie ini lebih banyak mengambil Perjamuan Terakhir sebagai latar waktu nan dalam penceritaan.
Penonton disajikan dua kisah nan terjadi dalam satu waktu bersamaan.
Pertama, Yesus berbareng 12 siswa di bilik loteng, mengikuti ritual Paskah Yahudi, membagikan roti dan anggur, tapi Ia mengubah doa-doa nan menjadi pertanyaan bagi para murid.
Ia sebelumnya juga membasuh kaki ke-12 murid, termasuk Yudas Iskariot, sebagai tanda kerendahan hati nan sangat bisa menjadi salah satu segmen paling berkesan dalam movie tersebut.
Sedangkan di lantai bawah, satu family turut makan malam jelang Paskah sebagai corak budaya istiadat peringatan atas keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir dengan roti tak beragi dan sayur pahit di atas meja makan mereka.
Dengan penceritaan sangat sederhana, movie ini berupaya menghubungkan Perjamuan Terakhir dan Kebangkitan dengan efektif. Penderitaan Yesus dibahas secara ringkas, dan hanya melalui kilas kembali singkat.
Review The Last Supper (2025): Film ini bisa jadi opsi tontonan Prapaskah bagi nan tidak mau memandang segmen penyiksaan penyaliban Yesus. (Canyon Productions/Grand Canyon University/Pinnacle Peak Pictures)
The Last Supper tidak menunjukkan penyaliban secara perincian dan eksplisit, tetapi memang tetap ada beberapa segmen Yesus dicambuk. Sebagai catatan, movie ini menggambarkan perincian Yudas Iskariot nan meninggal lantaran bunuh diri.
Namun memang ada sedikit catatan untuk movie ini, siswa Yesus nan lain dihadirkan hanya sebagai pelengkap. Mereka hanya muncul saat Perjamuan Terakhir, minim pula perbincangan dengan Petrus, Yudas, Yohanes, apalagi Yesus.
Pontius Pilatus, pejabat Romawi, nan sesungguhnya memimpin pengadilan Yesus juga tak ada dalam movie tersebut.
Meskipun scoop kisah nan ditampilkan sederhana, tak bisa dipungkiri movie nan mempunyai lama 1 jam 54 menit ini terasa lambat dan begitu tawar imbas dalam skenarionya.
Sehingga, movie ini kurang mempunyai kekuatan emosional dalam penceritaannya.
Review The Last Supper (2025): Karakter Petrus dan bentrok dengan Kayafas menjadi 'napas' movie ini. (Canyon Productions/Grand Canyon University/Pinnacle Peak Pictures)
Karakter Yesus nan diperankan Jamie Ward juga tidak meninggalkan kesan kuat andaikan movie ini memang difokuskan kepada kisah Yesus. Sebab, karakternya malah dengan mudah tertutupi dengan penampilan dua muridnya, Petrus dan Yudas.
Penampilan Wheatley sebagai Petrus, serta Knepper sebagai Yudas, begitu menonjol dan sangat bisa untuk refleksi diri bagi penonton melalui sikap, keputusan, serta gejolak jiwa mereka.
Review The Last Supper (2025): Robert Knepper menggambarkan kegundahan Yudas Iskariot jelang pengkhianatan terhadap Yesus dengan banget baik. (Pinnacle Peak Pictures)
Secara keseluruhan, The Last Supper mempunyai visual nan mumpuni dalam mendukung penggambaran kisah dalam Alkitab, meski secara penceritaan dan penokohan tetap banyak catatan.
Pengenalan dan pendalaman Alkitab setiap pribadi dapat membantu menentukan apresiasi masing-masing penonton terhadap movie ini, termasuk kesadaran atas bagian-bagian mana movie Borrelli nan jadi interpretasi sendiri dari kisah Alkitab.
The Last Supper bisa menjadi opsi tontonan Prapaskah bagi mereka nan tidak mau memandang adegan-adegan penyiksaan penyaliban Yesus.
[Gambas:Youtube]
(chri/chri)