ARTICLE AD BOX
No Other Land tak memberikan tempat lain bagi penonton untuk pergi dan kabur dari beragam kejadian nan meremas rasa kemanusiaan.
Jakarta, detikai.com --
Berbagai video nan menggambarkan kolonialisme Israel atas Palestina di media sosial dalam beberapa tahun terakhir sudah menyayat hati. Namun No Other Land membikin rasa nelangsa semakin menjadi.
Dokumenter 95 menit peraih Best Documentary Feature Film Piala Oscar 2025 ini memang bukan berlatar agresi bandel Israel ke Jalur Gaza sejak Oktober 2023, tetapi jauh lebih lama dari itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
No Other Land adalah secuplik kenangan penuh darah, tangis air mata, hingga nestapa tak berpinggir dari seorang pemuda Palestina nan terabadikan dalam gambar bergerak sejak dia kecil.
Basel Adra adalah nama pemuda itu.
Basel Adra dan Hamdan Ballal nan merupakan wartawan asal Palestina bekerja sama dengan wartawan dari negara 'penjajah' mereka, Israel, ialah Yuval Abraham dan Rachel Szor, dalam menggarap movie ini.
Selayaknya pemuda Palestina lainnya, Basel juga melawan tentara Israel untuk pergi dari kampung tanah air mereka. Namun bedanya, Basel Adra angkat kamera dan ponsel seadanya sebagai senjata.
Review Film No Other Land: movie ini adalah secuplik kenangan penuh darah, tangis air mata, hingga nestapa tak berpinggir dari seorang pemuda Palestina nan terabadikan dalam gambar bergerak sejak dia kecil. (Antipode Films)
Adra dan keluarganya sudah sejak lama dan terbiasa merekam kejadian penggusuran hingga kekerasan nan terjadi di lingkungannya lantaran keputusan Pemerintah Israel.
Bagi family Adra, rekaman video dan foto adalah bukti autentik kepada bumi atas kolonialisme nan dilakukan oleh Israel sejak puluhan tahun lalu, dan semakin menggila dalam beberapa tahun terakhir.
Rekaman video dan foto tanpa rekayasa teknologi canggih macam AI itu sudah merekam sejak Adra kecil. Bahkan, video itu juga merekam perjalanan ayah Adra nan berulang kali ditahan oleh tentara Israel.
Namun rekaman nan dikhususkan untuk dokumenter ini digarap antara 2019 hingga 2023 di Masafer Yatta, Tepi Barat, dan tuntas pada Oktober 2023, bulan nan sama saat Perang Gaza meletus.
Penggusuran tentara Israel terhadap penduduk desa, perusakan pada satu-satunya sekolah dasar di desa, hingga perusakan ke sumber air nan dimiliki penduduk Palestina menjadi sajian dokumenter ini.
Bahkan, tindakan penembakan terhadap salah satu tetangga Adra oleh tentara Israel tertangkap dengan jelas dalam dokumenter ini. Tanpa rekayasa, tanpa setting-an.
Karena diambil dengan sejujur dan seapa-adanya, maka jangan minta ada sinematografi bagus alias tata bunyi megah. Semua gambar tindakan genosida dan kolonialisme Israel atas penduduk Palestina ini berbincang dengan sendirinya.
Review No Other Land:Percakapan antara Basel dengan Abraham menjadi perihal nan sentimental. (dok. Yabayay Media/Antipode Films via IMDb)
Maka dari itu, No Other Land tak memberikan tempat lain bagi penonton untuk pergi dan kabur dari beragam kejadian nan meremas rasa kemanusiaan.
Meski tak ada beauty shoot alias pengambilan gambar kamera nan proper, apalagi beberapa shoot terlihat amatir, seluruh visual dokumenter ini tak membosankan lantaran ketegangan kisahnya sudah bercerita sendiri tanpa perlu banyak narasi.
Penonton seperti diajak langsung ke medan perang, berhadapan dengan tentara Israel, serta ikut berunjuk rasa dengan penduduk desa memprotes kejahatan-kejahatan penjajah.
Tak banyak narasi dalam dokumenter ini selain dari bunyi Adra nan menjelaskan peristiwa nan sudah terjadi. Adra dan Abraham bukan hanya bekerja sebagai sutradara dalam movie ini, tetapi juga tokoh utama di dalamnya.
Basel menampilkan perjuangannya memihak tanah air kelahirannya, membantu penduduk setempat berunjuk rasa dan menyuarakan penderitaannya, hingga menyuarakan kondisi di daerahnya dengan mengunggah video di media sosial.
Sementara Abraham menunjukkan keberpihakannya pada Palestina dengan terus menulis soal situasi di Masafer Yatta untuk media tempat dia bekerja. Namun sayang, tak banyak artikelnya nan dibaca orang.
Percakapan antara Basel dengan Abraham menjadi perihal nan sentimental bagi saya. Obrolan dua pemuda dengan nasib berbeda tapi punya kegelisahan nan sama, ialah pendudukan militer Israel di Palestina kudu dihentikan.
[Gambas:Youtube]
Abraham juga menjadi pendengar nan baik saat Basel meluapkan segala emosinya hingga cita-cita nan tetap ada dalam akal pemuda Palestina tersebut.
Meski begitu, dokumenter ini juga menampilkan keberadaan Yuval Abraham nan dipandang sebagai ancaman oleh penduduk Masafer Yatta. Apalagi jika bukan lantaran latar belakang Abraham nan berasal dari negara penjajah.
No Other Land memang tak mempunyai tata bunyi nan apik, tetapi bunyi alami nan datang dari tembakan, ratapan, tangisan, hingga kerusuhan sudah cukup untuk menguras emosi penonton.
Tak butuh pengaruh CGI bagi No Other Land untuk menunjukkan seberapa bandel Israel menindas penduduk Palestina. Film ini hanya mau menjadi penyiar dan penyadar penduduk dunia, terutama para pemimpin, untuk segera bergerak menghentikan tindakan kolonialisme nan sudah ada puluhan tahun ini.
[Gambas:Video CNN]
Kemenangan No Other Land di Academy Award ke-97 juga sebenarnya sukses mengenalkan dokumenter ini ke penjuru dunia, lantaran cukup susah karya nan menceritakan realitas di Palestina mendapatkan pengakuan di arena internasional.
Seperti nan dikatakan Basel Adra dengan menyentuh saat memegang Piala Oscar di atas podium pada 2 Maret 2025, bahwa kenyataannya hingga saat ini penduduk Palestina tetap ditindas oleh Israel. Yuval Abraham juga menyinggung Amerika Serikat nan belum punya langkah nyata menghentikan serangan Israel.
Dokumenter ini tetap tayang terbatas di beberapa negara meski mestinya punya eksposur nan lebih luas selain daripada keliling di beragam pagelaran movie dunia.
Saya berharap, di bulan Ramadan ini, No Other Land dan beragam pengarsipan lainnya dari tanah Palestina bakal bisa membuka lebih lapang simpati, empati, dan tindakan nyata penduduk bumi untuk membantu membebaskan Palestina dari Israel.
From the river to the sea, Palestine will be free!
(end)