Respons Dpr, Komnas Ham, Hingga Psikologi Forensik Soal Kasus Asusila Eks Kapolres Ngada

Sedang Trending 9 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Selly Andriany Gantina geram terhadap mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja nan melakukan perbuatan dugaan narkoba dan cabul terhadap anak di bawah umur.

Dia berambisi Propam Polri memberikan balasan maksimal kepada AKBP Fajar.

"Harus di norma maksimal. Apalagi dia sebagai Kapolres, semestinya memberi contoh," kata Selly dalam keterangannya, Selasa 11 Maret 2025.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga turut angkat bicara mengenai kasus ini. Mereka mendesak agar mantan Kapolres Ngada dikenai hukuman etik dan pidana atas dugaan penyalahgunaan narkoba dan pencabulan anak.

"Mendesak penegakan norma nan setara dan transparan dengan perlunya hukuman etika dan pidana atas pelecehan seksual dan/atau tindakan pencabulan nan diduga dilakukan oleh Kapolres non-aktif Ngada," tegas Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing.

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menilai mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja sangat fasih alias terbiasa melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Hal itu terbukti dari jumlah korbannya.

"Langsung tiga anak dalam satu bagian tunggal, mengindikasikan level keberanian dan kefasihan FW dalam melakukan kejahatan seksual terhadap anak. Sehingga, patut diduga ada anak-anak lain nan juga telah dimangsa oleh FW," tutur Reza Indragiri dalam keterangannya, Kamis 13 Maret 2025.

Menurutnya, AKBP Fajar juga dikabarkan pernah bayar wanita dewasa untuk jasa seksual. Kondisi tersebut menunjukkan selera cabul terhadap anak-anak tidaklah berkarakter eksklusif.

Berikut sederet respons sejumlah pihak mengenai kasus tindak pidana cabul Kapolres Ngada, dihimpun oleh Tim News detikai.com:

Promosi 1

DPR Minta AKBP Fajar Dihukum Maksimal

Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Selly Andriany Gantina geram terhadap mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja nan terbukti melakukan perbuatan dugaan narkoba dan asusila.

"Harus di norma maksimal. Apalagi dia sebagai Kapolres, semestinya memberi contoh," kata Selly dalam keterangannya, Selasa (11/3/2025).

Merujuk dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang TPKS serta UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika, mantan Bupati Cirebon itu mendesak balasan maksimal wajib diberikan.

Secara teperinci Selly menuturkan jeratan pasal 13 UU TPSK bisa diberikan kepada Kapolres dengan balasan 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.

Namun lantaran pelaku adalah Pejabat wilayah dan keluarga, maka hukumannya bisa diperberat sepertiga alias tambahan 5 tahun. Serta perekaman nan membikin dirinya bisa dituntut tambahan 4 tahun.

Selain berkaca dari konsumsi narkotika nan ada, maka dirinya melanggara pasal 127 ayat 1 sebagaimana UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

"Artinya jika di juncto kan, maka serendahnya dia bisa dikenai balasan 20 tahun. Tapi lantaran bejatnya, saya pikir balasan seumur hidup alias meninggal lebih pantas," kata Selly.

Ia juga mengiatkan bahwa kasus ini menjadi pengingat bahwa kejahatan terhadap anak merupakan pelanggaran serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan tidak boleh dibiarkan terjadi di lembaga mana pun.

Terlebih kejahatan ini masuk dalam lingkup abdi negara penegak norma nan semestinya menjadi garda terdepan dalam memberikan perlindungan.

"Proses norma nan transparan dan akuntabel menjadi kebutuhan mendesak, sehingga keadilan bagi para korban dapat terwujud tanpa hambatan," jelas dia.

Harus Dikenakan Pelanggaran Pidana

Anggota Komisi III DPR RI, Dewi Juliani mengecam keras tindakan AKBP fajar lantaran dugaan perbuatan nan dilakukan mengenai narkoba dan cabul tersebut. Menurut dia, ini bisa mengurangi kepercayaan publik terhadap kepolisian.

"Saya mengecam keras tindakan AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Ini bukan sekadar pelanggaran kode etik, tetapi kejahatan serius nan mencoreng lembaga Polri dan merusak kepercayaan publik.," kata dia dalam keterangannya, Selasa (11/3/2025).

Karena itu, Politikus PDI Perjuangan (PDIP) ini mendesak diberlakukan tindak pidana jika nan berkepentingan memang terbukti melakukan kedua perbuatan tersebut.

"Oleh lantaran itu, penegakan norma pidana kudu dilakukan secara transparan dan tanpa pandang bulu," jelas Dewi.

Dia berpandangan, jika hanya hukuman etik tidak cukup untuk menghentikan impunitas dalam kasus ini. Perbuatan AKBP Fajar jika terbukti merupakan tindak pidana berlapis nan kudu diusut secara menyeluruh.

"Kami di Komisi III DPR RI bakal terus mengawal kasus ini agar norma betul-betul ditegakkan. Tidak boleh ada kompromi terhadap pelaku kejahatan berat, terlebih jika pelakunya adalah abdi negara penegak norma sendiri. Keadilan kudu dipulihkan, baik bagi korban maupun demi menjaga martabat lembaga Polri," jelasnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mendesak Propam Polri agar segera memecat dan memidanakan pelaku dengan pasal berlapis jika memang terbukti.

Lebih lanjut, Politikus NasDem ini pun meminta agar penanganan kasus ini bisa melangkah sigap dan transparan. Ia menyebut persepsi masyarakat berjuntai pada langkah penanganan Polri.

Komnas HAM Desak Sanksi Ganda untuk Mantan Kapolres Ngada

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut angkat bicara mengenai kasus ini. Mereka mendesak agar mantan Kapolres Ngada dikenai hukuman etik dan pidana atas dugaan penyalahgunaan narkoba dan pencabulan anak.

"Mendesak penegakan norma nan setara dan transparan dengan perlunya hukuman etika dan pidana atas pelecehan seksual dan/atau tindakan pencabulan nan diduga dilakukan oleh Kapolres non-aktif Ngada," tegas Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing.

Komnas HAM juga meminta perlindungan bagi saksi dan korban, serta pemulihan bagi korban pencabulan melalui jasa psikologi, restitusi, dan kompensasi. Mereka menekankan pentingnya pencegahan agar kasus serupa tidak terulang, khususnya di lingkungan kepolisian, melalui uji narkoba rutin dan asesmen ilmu jiwa berkala.

"Komnas HAM memandang anak-anak merupakan korban nan rentan mengalami tindakan kekerasan, pelecehan seksual dan/atau pencabulan nan mengakibatkan pelanggaran HAM. Anak-anak menjadi salah satu golongan rentan nan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan," jelas Uli dikutip dari Antara, Kamis (13/3/2025).

Uli menambahkan bahwa pencabulan, khususnya terhadap anak di bawah umur, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 52 ayat (1) UU HAM mengatur kewenangan anak atas perlindungan, sementara Pasal 52 ayat (2) menegaskan kewenangan anak sebagai HAM nan dilindungi norma sejak dalam kandungan. Perlindungan unik terhadap anak dari kejahatan seksual juga diatur dalam Pasal 15 huruf f UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Komnas HAM telah melakukan pemantauan terhadap kasus ini untuk memastikan penegakan norma melangkah baik dan hak-hak anak terlindungi. Mereka memastikan pemulihan korban menjadi prioritas utama. Komnas HAM juga mendesak agar kepolisian melakukan pertimbangan menyeluruh untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.

Reza Indragiri Sebut Eks Kapolres Ngada Fasih Lakukan Pencabulan Anak

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menilai mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja sangat fasih alias terbiasa melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Hal itu terbukti dari jumlah korbannya.

"Langsung tiga anak dalam satu bagian tunggal, mengindikasikan level keberanian dan kefasihan FW dalam melakukan kejahatan seksual terhadap anak. Sehingga, patut diduga ada anak-anak lain nan juga telah dimangsa oleh FW," tutur Reza Indragiri dalam keterangannya, Kamis (13/3/2025).

Menurutnya, AKBP Fajar juga dikabarkan pernah bayar wanita dewasa untuk jasa seksual. Kondisi tersebut menunjukkan selera cabul terhadap anak-anak tidaklah berkarakter eksklusif.

"Tambahan lagi jika salah satu korban FW adalah anak nan telah haid. Maka, FW juga tidak dapat disebut sebagai pengidap gangguan pedofili. Syarat pedofili adalah anak berumur prapubertas," jelas dia.

Tidak ketinggalan soal AKBP Fajar nan turut mengirimkan segmen seksualnya ke situs porno internasional. Rangkaian kejahatan tersebut menimbulkan spekulasi, bahwa pelaku melakukan perihal itu dilatarbelakangi oleh dorongan instrumental.

Reza mengatakan, Indonesia mempunyai beberapa norma khusus, seperti UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta UU Narkotika dan UU Psikotropika. Tindak pidana mengenai empat undang-undang tersebut pun merupakan kejahatan serius.

Selengkapnya