ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Universitas Harvard merilis permintaan maaf kepada civitas akademika atas antisemitisme dan Islamofobia nan terjadi di lingkungan kampus.
Pernyataan maaf itu dikeluarkan pada Selasa (29/4) di tengah tekanan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump belakangan ini.
"Saya minta maaf atas saat-saat di mana kami kandas memenuhi angan tinggi nan kami tetapkan untuk kampus," kata Rektor Universitas Harvard Alan M Garber dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Anadolu Agency.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Garber manyampaikan tahun akademik 2023 hingga 2024 merupakan masa-masa nan mengecewakan dan menyakitkan. Ia mengakui bahwa perihal itu terjadi pasca-serangan milisi Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023.
"Ketegangan nan sudah lama terjadi kembali mengemuka dan ketika protes dan kekerasan pecah di kampus-kampus seluruh negeri, personil organisasi kami mengalami kejadian nan membikin mereka merasa ditargetkan dan dijauhi akibat identitas mereka," ucap Garber.
Garber menyampaikan perihal ini merupakan temuan dari dua satuan tugas (satgas) nan dia corak di kampus guna memerangi antisemitisme dan Islamofobia.
Ia berujar baik orang Yahudi, Israel, Zionis, hingga Muslim semuanya merasakan ketidaknyamanan saat berada di lingkungan kampus.
"Anggota organisasi Yahudi, Israel, Zionis mengaku merasakan suasana kampus nan tak ramah. Dan dalam beberapa kasus, mereka sampai kudu menyembunyikan identitasnya demi menghindari konfrontasi," ucap Garber.
"Anggota organisasi Muslim, Arab, Palestina, dan pro-Palestina juga mengaku merasa dihakimi, disalahartikan, dan dibungkam," lanjutnya.
Garber berujar beberapa aktivitas kampus seperti kuliah, seminar, obrolan panel, dan aktivitas publik ada nan memihak satu sisi sehingga memperdalam emosi tak diterima bagi personil organisasi Yahudi hingga Muslim.
Ia juga mengatakan sangat terganggu dengan laporan bahwa sejumlah mahasiswa justru terang-terangan mau memperlakukan jelek anggota-anggota organisasi tersebut.
"Beberapa mahasiswa mengaku dikucilkan lantaran apa nan mereka yakini, nan menggerus rasa kebersamaan nan dibangun dalam komunitas," ucapnya.
Garber menyampaikan pembentukan satgas di kampus bermaksud untuk menyediakan keamanan dan keselamatan bagi seluruh personil komunitas. Satgas juga dibentuk untuk membebaskan mereka dari kekerasan.
Garber menekankan tujuannya ialah memastikan bahwa Harvard menjadi lembaga pendidikan nan menyambut baik seluruh buahpikiran dan kepercayaan tanpa mengorbankan martabat serta menjunjung tinggi penghormatan satu sama lain.
"Kebaikan nan kita lakukan hari ini dan di hari-hari ke depan adalah untuk kita semua. Semoga para penerus kita, baik itu Yahudi, Israel, Muslim, Arab, Palestina, maupun latar belakang dan perspektif apa pun tahu bahwa Harvard bakal menjadi tempat di mana mereka bisa menjadi diri mereka sendiri, mengekspresikan pandangan mereka secara merdeka, dan mengedepankan rasa simpati dan saling pengertian," ucapnya.
"Harvard tidak dan tidak bakal menoleransi kefanatikan," lanjutnya.
Beberapa waktu terakhir ini, pemerintahan Trump mendesak Harvard dan perguruan tinggi lain di AS untuk mengatasi antisemitisme di kampus dengan mengubah sejumlah kebijakan.
Namun, Harvard menolak mengubah kebijakan kampus lantaran perubahan itu membatasi kewenangan beranggapan civitas hingga menghilangkan program keberagaman. Harvard menjadi perguruan tinggi pertama nan menolak alim soal ini.
Pemerintahan Trump pun mulai menekan Harvard dengan menakut-nakuti bakal memotong biaya federal hingga mencabut status bebas pajak Harvard. Trump juga memperketat pemberian legalisasi pada Harvard nan bakal memengaruhi pinjaman dan biaya hibah federal.
(blq/bac)