ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Sebanyak 600 nelayan di Pantai Utara (Pantura) Kabupaten Tangerang, dan jejeran TNI Angkatan Laut (AL), akhirnya mencabut pagar laut di laut Pantura, di Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Sabtu (18/1/2025).
Proses pencabutan dilakukan mulai dari area Tanjung Pasir, Teluk Naga, hingga nantinya di Kronjo, Kecamatan Kronjo, Tangerang. Masyarakat berceceran untuk mencari titik pencabutan.
Komandan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Danlantamal) III Jakarta Brigjen TNI (Mar) Harry Indarto mengatakan, proses pencabutan nan melibatkan personel TNI AL dan juga para nelayan.
"Proses pencabutan bakal dilakukan di Tanjung Pasir, berjenjang sepanjang 2 kilometer nan melibatkan sejumlah unsur baik itu nelayan dan juga pihak kami (TNI AL)," katanya.
Saat ini, sekitar 30 kapal nelayan dengan beragam ukuran tengah berada di perairan Tangerang tepatnya, area Tanjung Pasir.
Sejumlah personel TNI AL dan nelayan nampak turun mencabut bambu dengan tinggi 6 meter dan tertancap di laut Tangerang secara manual, baik menggunakan tangan ataupun menggunakam tali nan disangkutkan ke kapal.
Prosesnya, mereka mencabut terlebih dulu kain dan pengait di atas bambu tersebut. Lalu, baik nelayan ataupun personil TNI dengan menggunakan pelampung, nyebur ke laut, untuk mengaitkan tali di masing-masing bambu.
Kemudian, nelayan ataupun personil TNI AL lain nan di atas perahu, langsung menarik untuk mencabutnya. Diperkirakan bambu setinggi 6 meter tersebut, tertancap 1 hingga 1,5 meter di dasar laut, inilah kesulitan untuk mencabut bambu tersebut.
Terpantau, bambu-bambu setelah dicabut, tampak terombang ambing di lautan.
Salah satu nelayan, Sahroni mengucap rasa syukurnya dengan adanya tindakan pencabutan nan dilakukan pihak TNI berbareng pihak nelayan.
"Tentu kami berterima kasih sekali dengan adanya langkah inu, kami tidak kesusahan lagi, gak kudu mutar," katanya.
Misteri Pagar Laut di Tangerang dan Bekasi, Siapa Dalangnya?
Misteri keberadaan pagar laut yang membentang sejauh 30,16 kilometer di wilayah pesisir Tangerang kini tengah menjadi sorotan. Keberadaan pagar bambu nan diduga dipasang tanpa izin ini menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap ekosistem laut serta kehidupan nelayan setempat.
Pagar tersebut pertama kali terdeteksi pada Agustus 2024 dengan panjang awal sekitar 7 kilometer. Meski telah mendapat peringatan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pemasangan pagar terus bersambung hingga panjangnya mencapai lebih dari 30 kilometer dalam kurun waktu lima bulan.
Selain di pesisir Tangerang, kejadian pagar laut juga tertedeksi di wilayah pesisir Bekasi. Hal ini kembali viral di platform Twitter alias X. Salah satu video menunjukkan pagar laut di Bekasi nampak sudah diurug dan tampak membentang cukup panjang di perairan Bekasi, tepatnya di wilayah Tarumajaya.
Terkait perihal ini, Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menilai, keberadaan pagar laut tersebut buntut adanya ketidakpastian norma di bumi maritim Indonesia. Ia menyebut saat ini ada 24 patokan nan tumpang tindih sehingga menyebabkan abdi negara penagak norma bisa mudah menggunakan aturan.
"Contoh kecilnya saja, kejadian pagar laut di Tangerang ini nan aktif melakukan kegiatan penegakan hukumnya adalah Kementerian Pelautan dan Perikanan (KPP). Padahal kita sama tahu undang-undang nan digunakan adalah Undang 32 tahun 2014 tentang pelautan dan perikanan, di mana undang-undang itu tentunya mengatur isi laut sendiri. Sedangkan permukaan laut ke atas itu harusnya merujuk ke Undang-undang nan lainnya, dan ada abdi negara penagak norma nan lain nan mempunyai kewenangan di sana, contohnya ada Bakamla dan Polairut," ujar Capt. Hakeng kepada detikai.com, Rabu (15/1/2025).
Capt. Hakeng menilai bahwa kasus ini bisa mengarah pada dua kemungkinan yakni, masuk ranah perdata dan pidana. "Kalau dalam ranah perdata, kreator pagar laut wajib mencabut alias merombak struktur tersebut jika memang tidak mengetahui bahwa tindakannya melanggar aturan. Namun, jika dia mengetahui perihal tersebut dan tetap melakukannya, maka aspek pidana bisa diterapkan," tegasnya.
Di sisi lain, Capt. Hakeng juga memaparkan akibat dari pemasangan pagar laut bagi nelayan dan ekosistem sekitar. Menurutnya, jika pagar laut dibuat dari bambu, struktur tersebut berkarakter sementara dan mudah rusak akibat air laut dalam jangka waktu enam bulan hingga satu tahun.
"Namun, jika pagar tersebut nantinya diperkuat dengan semen sebagai penahan ombak, dampaknya bakal jauh lebih besar," ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa akibat utama nan dirasakan adalah nelayan lokal nan kudu melaut dengan jarak dan waktu tempuh lebih jauh. Selain itu, ekosistem pantai di kembali pagar laut bakal terganggu akibat terputusnya aliran air laut nan biasanya membawa makanan dan sedimen.
"Dengan adanya pagar laut, sedimen nan sebelumnya terbawa ke laut lepas bakal tertahan, menyebabkan penumpukan dan pendangkalan lebih sigap di wilayah tersebut. Hal ini bakal merugikan nelayan lantaran tempat penambatan kapal mereka menjadi dangkal dan tidak bisa digunakan lagi," ujarnya.
Untuk itu, dia menegaskan pentingnya ketegasan dari pemerintah agar mengusut dalang di kembali pemasangan pagar laut ini. "Saya mendorong pemerintah untuk menunjukkan wibawanya sebagai pelaku pemerintahan di negara ini. Kita adalah negara hukum. Jika perihal ini dibiarkan, bakal menjadi preseden jelek bagi wilayah lain nan mungkin bakal meniru langkah serupa," katanya.
Ia menyarankan agar pemerintah memberikan pemisah waktu 20 hari untuk pembongkaran pagar laut tersebut. Jika tidak ada pihak nan membongkar, pemerintah kudu segera mengambil tindakan tegas dengan melakukan pembongkaran.
"Perkara siapa nan bakal menanggung biaya pembongkaran, itu bisa diselidiki lebih lanjut oleh kepolisian. Namun, langkah utama nan kudu diambil adalah memastikan bahwa jika pagar laut itu ilegal, maka kudu dibongkar," pungkasnya.
Ketidaktransparan Pemerintah Daerah
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, mengkritik ketidaktransparanan pemerintah wilayah dalam menangani rumor pagar laut di Tangerang dan Bekasi. Menurut Trubus, baik pemerintah daerah, pusat dan golongan nelayan semestinya mempunyai komunikasi nan baik, namun kenyataannya justru sebaliknya.
"Kalau saya sih sebenarnya peran pemerintah wilayah nan menurut saya tidak transparan. Di Bekasi, Pemprov sudah mengatakan itu legal, tapi kan pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mengaku belum mengetahui. Kemudian golongan nelayan juga mengaku ada nan tahu dan ada nan tidak tahu. Jadi menurut saya, tiga pihak ini semestinya mempunyai komunikasi publik nan baik, tapi seperti tidak ada," kata Trubus kepada detikai.com, Rabu (15/1/2025).
Dia pun mencurigai adanya permainan di kembali pengadaan pagar laut tersebut. "Sepertinya mereka saling menutupi, dan saya mencurigai ini seperti ada permainan bahwa itu ada izin, tapi kok tidak diketahui. Karena semestinya jika memang ada izin, mestinya sampai ke tingkat kelurahan, RT, dan RW tahu mengenai pagar itu saat pembuatannya. Apalagi ini 30 km di Tangerang," ujarnya.
Trubus juga menyoroti kemungkinan adanya praktik korup dalam pengadaan pagar laut ini. Ia menilai birokrasi di Indonesia nan tetap korup menjadi celah terjadinya pelanggaran tersebut.
"Ya ini kan ada pergantian ketua nasional. Awalnya Presiden Jokowi mungkin sudah ada perjanjian, tapi satu pemerintahan baru, perangkat baru, dan nan melakukan pelanggaran ini mungkin menerima sesuatu. Budaya kita ini kan birokrasinya birokrasi korup, jadi mereka mungkin menerima sesuatu dan mereka saling bersembunyi, sehingga saling menutupi. Dilempar ke sana tidak tahu, ke sini tidak tahu. Jadi ini sepertinya mau diarahkan ke oknum, lantaran polanya biasa seperti itu," jelas Trubus.
Ia menambahkan, pejabat nan saat ini menjabat pun semestinya mengetahui persoalan ini. Namun, lantaran mau menjaga gambaran diri, mereka memilih untuk tidak bertanggung jawab. "Saya juga mencurigai nan duduk menjabat sekarang semestinya juga tahu, tapi lantaran dia mau membersihkan dirinya sendiri, dia mengatakan tidak tahu dan seperti tidak mau bertanggung jawab. Padahal siapa pun rezim nan memerintah, kudu bisa bertanggung jawab," katanya.
Trubus menegaskan bahwa abdi negara penegak norma (APH) kudu bertindak proaktif mengenai persoalan ini, dan kudu segera menyelidiki dugaan pidana dan legalitas pagar laut.
"Iya, saya kira itu tugasnya abdi negara penegak hukum. Karena kan laut itu peralatan publik, jadi APH kudu proaktif, tidak kudu menunggu laporan. Harus bertindak melakukan investigasi. Jadi, laporan kejuaraan itu jika sifatnya personal, ini bukan personal. Ini peralatan publik. Misalkan kapan Monas dirusak orang, itu tidak usah menunggu laporan, langsung ditelusuri, lantaran Monas adalah milik bersama," tegasnya
"Sama dengan pagar laut ini, APH juga kudu langsung bertindak. Tapi saya lihat APH tidak proaktif, tidak melakukan investigasi. Harusnya mereka bisa melakukan investigasi terhadap pihak nan patut diduga dan dicurigai," sambungnya.
Adapun mengenai klaim dari golongan sipil nan menyatakan bahwa pagar laut tersebut adalah milik mereka, Trubus memandang perihal ini sebagai upaya permainan untuk menutupi pelanggaran hukum.
"Saya kira itu bisa saja. Itu kan permainan argumen alias alibi, jadi itu hanya menutupi perbuatan dari pelanggaran hukum. Karena saya kira itu kaitannya dengan pidana," ujarnya.
Di sisi lain, Trubus turut menyoroti akibat ekonomi nan dirasakan oleh nelayan akibat keberadaan pagar laut tersebut. Menurutnya, nelayan mengalami kerugian nan signifikan dan semestinya mendapat kompensasi.
"Artinya, ada kerugian nan diderita oleh nelayan. Makanya dalam investigasi kelak kudu dijelaskan kerugiannya apa. Misalkan, dalam 10 hari mereka biasanya dapat 10 karung, tapi lantaran ada pagar laut, jadi hanya dapat dua karung. Itu kan rugi. Sehingga semestinya ada kompensasi terhadap mereka," pungkas Trubus.