ARTICLE AD BOX
detikai.com - Di tengah gemuruh Stadion Si Jalak Harupat, seorang bocah melangkah di rumput lapangan nan basah lantaran hujan. Semua sorot lampu seolah tertuju pada Rayyan Arkan Dhika, sosok mungil dari Riau nan membawa daya tradisi Pacu Jalur ke panggung termegah sepak bola pramusim Indonesia. Gerakannya lincah, hentakan tangannya penuh semangat, seolah menyalurkan derasnya arus Sungai Kuantan.
Riuh tepuk tangan membahana, mengapresiasi keberanian dan keluwesan Rayyan nan menari dengan properti perahu mininya. Ia adalah representasi otentik dari kearifan lokal. Di momen lainnya, langit malam ikut merespons. Ratusan titik sinar melesat ke angkasa, membentuk susunan peta Indonesia dengan palet merah putih, lampau berubah menjadi Trofi Piala Presiden nan futuristik.
Di satu momen nan sama, tradisi dan teknologi berdialog. Di satu panggung nan sama, degub nadi dari sebuah desa di Riau berjumpa dengan presisi penemuan abad ke-21. Paradoks nan begitu bagus ini lantas memunculkan sebuah pertanyaan: Mungkinkah ini wajah baru perhelatan olahraga di negeri ini?
Piala Presiden 2025 menjawabnya tanpa ragu. Turnamen ini sukses merayakan dua perihal sekaligus: pamor nan diakui bumi dan kehangatan nan berakar kuat di hati Indonesia. Ia bukan lagi sekadar turnamen, melainkan sebuah pernyataan identitas.